Para ilmuwan menemukan perubahan pada daun pohon bisa menjadi tanda bahwa gunung berapi di sekitarnya sedang lebih aktif dan berpotensi meletus. Kini, lewat kerja sama antara NASA dan Smithsonian Institution, para peneliti yakin bahwa perubahan ini bisa terdeteksi dari luar angkasa.
Ketika magma naik dari dalam Bumi menuju permukaan, ia melepaskan berbagai gas, termasuk karbon dioksida (COβ). Pohon-pohon di sekitar gunung berapi akan menyerap lebih banyak COβ tersebut, membuat mereka terlihat lebih hijau dan rimbun. Perubahan ini bisa teramati melalui gambar satelit, seperti Landsat 8 dan melalui alat pemantau udara yang terbang dalam misi Airborne Validation Unified Experiment: Land to Ocean (AVUELO).
Penemuan ini sangat penting karena sekitar 10% dari populasi dunia tinggal di wilayah yang rawan terhadap letusan gunung berapi. Orang-orang yang berada dalam jarak beberapa kilometer dari gunung berapi menghadapi berbagai bahaya, seperti lontaran batu, debu vulkanik, gelombang gas panas beracun, tanah longsor, hujan abu, hingga tsunami.
BACA JUGA: Peneliti Meksiko Buat Buku Resep Karya Seni 3D dari Biomaterial
Karena letusan gunung berapi tidak bisa manusia cegah, deteksi dini terhadap aktivitas vulkanik menjadi kunci untuk keselamatan masyarakat. Salah satu cara untuk mendeteksi aktivitas awal adalah dengan memantau emisi gas dari magma. Sulfur dioksida cukup mudah terdeteksi dari orbit. Namun, karbon dioksida yang sering kali keluar lebih dulu lebih sulit teramati dari luar angkasa.
Dengan memantau dampaknya pada pepohonan, para ilmuwan kini punya cara baru untuk mendeteksi tanda awal dari aktivitas vulkanik.
Filipina Deteksi Tanda Letusan
Pada Desember 2017, peneliti di Filipina berhasil menggunakan metode ini untuk mendeteksi tanda-tanda letusan yang akan terjadi. Mereka menyarankan evakuasi massal di sekitar gunung berapi tersebut. Hasilnya, lebih dari 56.000 orang berhasil dievakuasi sebelum letusan besar terjadi pada 23 Januari 2018 dengan tidak adanya korban jiwa.
Pemantauan pohon melalui satelit memberi para ilmuwan cara tambahan untuk memperkirakan letusan sejak dini. Meski tidak ada satu pun metode yang bisa sepenuhnya memprediksi letusan dengan pasti.
βTidak ada satu sinyal pun yang menjadi solusi ajaib. Namun, melacak dampak karbon dioksida pada pepohonan bisa jadi hal yang mengubah segalanya,” ujar ahli vulkanologi Florian Schwandner melansir Phys, Sabtu (17/5).
Melengkapi Data
Sementara itu, pemantauan perubahan vegetasi akibat peningkatan karbon dioksida dapat menjadi alat tambahan yang sangat berguna bagi para ilmuwan. Metode ini bisa melengkapi data dari sumber lain seperti gelombang seismik dan perubahan ketinggian tanah. Hal itu untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang aktivitas di bawah gunung berapi.
“Gunung berapi mengeluarkan banyak karbon dioksida. Namun, karena jumlahnya di atmosfer secara keseluruhan sangat besar, sangat sulit untuk membedakan mana yang berasal dari gunung berapi,” kata seorang ahli vulkanologi dari Universitas McGill di Montreal, Robert Bogue.
Beberapa letusan besar memang menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah cukup besar. Sehingga, bisa terdeteksi oleh satelit seperti Orbiting Carbon Observatory 2 milik NASA. Namun, sinyal-sinyal awal yang lebih lemah bisa menjadi peringatan awal akan letusan, masih sangat sulit terdeteksi dari luar angkasa.
BACA JUGA: Cegah Kebakaran di Pabrik Daur Ulang, Peneliti Kembangkan Sensor Baterai
“Jika sebuah gunung berapi hanya mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah sedang, yang bisa menjadi pertanda letusan akan terjadi, kemungkinan besar sinyal itu tidak akan terlihat dalam citra satelit,” tambah Bogue.
Karena itu, para ilmuwan masih harus turun langsung ke lokasi gunung berapi untuk melakukan pengukuran COβ secara manual. Sayangnya, dari sekitar 1.350 gunung berapi aktif di dunia, banyak yang terletak di daerah terpencil yang sulit dijangkau. Kondisi ini membuat proses pemantauan menjadi sangat menantang sehingga membutuhkan banyak tenaga, biaya besar, dan bahkan membahayakan keselamatan tim peneliti.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia