Bustar Maitar: Papua Ingin Dilihat Sama

Reading time: 5 menit
Bustar Maitar

Bustar Maitar. Foto: www.greeners.co/Ridho Pambudi

Papua memiliki potensi keindahan alam untuk ekowisata, tetapi isu sawit juga mulai merambah ke Indonesia Timur. Bagaimana Anda melihat keduanya?

Kalau berbicara ekspansi perkebunan besar, cuma di Papua dan Maluku yang masih dianggap “tanah kosong”. Sebetulnya semua tanah tersebut sudah dimiliki oleh masyarakat adat. Kosong di sini dalam konteks belum ada konsensi, tapi bukan berarti kosong.

Apa yang terjadi di Papua sekarang sama dengan yang terjadi di Kalimantan pada 1980. Perusahaan sawit sudah mulai take over, padahal di Indonesia ada sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Karena tidak pernah ditanami, hutannya habis dan dianggap bahwa lahannya kritis sehingga dijustifikasi sebaiknya ditanami sawit.

Konteks kedua, kenapa Papua menjadi seksi karena sumber daya alam yang melimpah. Di saat yang sama ekoturisme dikembangkan, tetapi apa yang mau dilihat kalau hutannya sudah habis. Sementara pengelolaan yang berkelanjutan itu yang dijual kepada turis. Itu jadi sesuatu yang ironi.

Kemudian apakah pemerintah benar-benar mempersiapkan orang Papua asli dalam mengelola destinasi? Menurut saya tidak juga.

Masyarakat, misalnya, membuat homestay kecil-kecil dan memulai dengan apa adanya sendiri. Kalau pemerintah serius harusnya masif dilakukan, infrastruktur homestay disiapkan, masyarakat pengelolanya juga disiapkan. Investasi di sumber daya manusia juga kurang. Memang benar ada tenaga kerja, tapi yang diinginkan masyarakat Papua bukan hanya pada level tenaga kerja melainkan masyarakat yang mengelola objek wisata.

Kalau misalnya dianggap tidak punya cukup kualitas ya harus ditingkatkan, bukan mendatangkan resor besar kemudian masyarakat asli hanya jadi penonton atau guide.

Top