Ketidakadilan di bidang sosial dan lingkungan selalu membuatnya marah. Namun, kemarahan itu menjadi inspirasi bagi Bustar Maitar, Direktur Eksekutif Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (Econusa). Hal tersebut juga yang mendorongnya untuk berkontribusi bagi Indonesia Timur khususnya Papua dan Maluku.
Meski kaya akan potensi alam dan keanekaragaman hayati, Bustar menuturkan, perhatian terhadap Indonesia Timur terutama Papua dan Maluku tak cukup diberikan. Ia mengatakan pembangunan sumber daya manusia yang selama ini diserukan pemerintah juga tak dikawal dengan baik. “Papua juga mau dilihat dan dihargai sama seperti orang Jawa di Indonesia,” ucap Bustar dalam wawancara khusus dengan Greeners, Kamis, 14 Agustus lalu.
Di kantornya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Bustar menceritakan ketertarikannya di bidang keadilan sosial dan perlindungan lingkungan, ekowisata, hingga masyarakat Papua.
Mengapa tergerak untuk berkontribusi di bidang keadilan sosial dan perlindungan lingkungan?
Sebenarnya dunia lingkungan dan sosial bukan sesuatu yang baru buat saya. Sejak kuliah memang sudah aktif mengurusi persoalan mengenai ketimpangan sosial dan lingkungan. Ditambah lagi karena saya lahir, besar, dan sekolah di Papua. Sejak kecil sehari-hari bermain di hutan. Itu tentu sangat berpengaruh terhadap apa yang saya pikirkan terkait dengan lingkungan.
Pasca kejatuhan presiden Soeharto di 1998, mulai berpikir apa hal konkret yang bisa dilakukan dengan masyarakat untuk membangun harapan baru. Lalu mulai bekerja bersama Non Governmental Organization (NGO) Perdu di 1999. Pada saat itu mulai turun ke masyarakat terutama di Teluk Bintuni dan Pegunungan Arfak untuk mengembangkan masyarakat dan konsep lingkungan yang lebih baik.
Di 2005 saya memutuskan untuk tidak melanjutkan dengan Perdu. Lalu direkrut oleh Greenpeace di pertengahan 2005. Tahun 2016 awal saya memutuskan untuk keluar dan berencana kembali ke Papua. Setelah saya keluar dari Greenpeace saya membangun bisnis sosial dan juga ada foundation kecil di Manokwari namanya Bentara.
Sampai kemudian suatu ketika beberapa kawan mengajak saya kembali mengurusi NGO. Saya katakan ingin fokus untuk Indonesia Timur terutama Maluku dan Papua. Kemudian jadilah EcoNusa yang kini baru tiga tahun berjalan. Sampai sekarang sudah sekitar 75 persen program EcoNusa di Papua dan Maluku.