Sarwono Kusumaatmadja Jalani Dunia Politik dalam Kesederhanaan

Reading time: 5 menit
sarwono

Sarwono Kusumaatmadja. Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Menolak Ajakan Menjadi “Orang Cendana”

Pada usia tiga belas tahun, Sarwono kehilangan Ayahnya yang meninggal dunia akibat penyakit gula yang diderita. Meski merasa kehilangan, ia mengaku bahwa secara psikologis sang Ayah telah mempersiapkan seluruh anggota keluarga termasuk dirinya dengan cita rasa humor khas sang Ayah: lucu, dingin, dan pasrah.

Sejak itu, ia mulai hidup mandiri dengan mengajar les privat kepada anak sekolah. Namun kebiasaan membahas isu-isu politik yang dibentuk sang Ayah di rumah perlahan mendorong Sarwono masuk ke dalam dunia politik.

Sarwono pernah menjadi anggota DPR-RI dari partai Golongan Karya (Golkar) pada tahun 1971 dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golkar periode 1983-1988. Karir politiknya pun terbilang cemerlang. Di era pemerintahan Presiden Soeharto, ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dan sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada kabinet pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia menjabat sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan dan dalam pemilu legislatif 2004 ia terpilih sebagai anggota DPD-RI mewakili DKI Jakarta.

“Jika saya mengingat-ingat hal apa yang spesial di hidup saya adalah ketika saya berhasil menghadapi sebuah ketidakpastian hidup dan saya tidak takut lagi pada ketidakkepastian hidup saya yang nantinya akan seperti apa. Saya bisa hidup dengan sederhana,” ujar Sarwono yang gemar mengisi waktu luangnya dengan membaca.

Prinsip kesederhanaan itu ia terapkan ketika menolak ajakan menjadi “Orang Cendana”. Ia bercerita di awal masa jabatannya sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dirinya banyak berkomunikasi secara personal dengan Presiden Soeharto.

“Saya beberapa kali terlibat dalam pembicaraan secara pribadi dengan Presiden Soeharto. Pertemuan itu dilakukan selalu pada malam hari, pukul setengah sembilan malam di kediaman beliau di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Kami berdua bertemu ketika suasana sudah sepi dan ruang tunggu wartawan sudah kosong. Pertemuan itu tidak selalu saya yang meminta, malah terkadang beliau yang meminta saya untuk mendatangi rumahnya,” ujarnya.

Akan tetapi, Sarwono merasa pertemuan tersebut terasa janggal karena selama 3 bulan dengan frekuensi pertemuan sekali seminggu tidak sedikit pun ada pembahasan tentang pekerjaan Sarwono sebagai Menteri. Hal itu pun ia ceritakan kepada Soedharmono yang menjabat sebagai Wakil Presiden.

“Saya bertanya kepada beliau apa arti dari pertemuan-pertemuan itu dan beliau pun menjawab “itu artinya kamu sedang dijajaki apakah bisa direkrut sebagai orang dalam yang tidak bekerja sebagai Menteri semata tetapi juga sebagai anggota kelompok inti di sekitar Presiden Soeharto,” katanya.

Mendengar jawaban itu, Sarwono akhirnya memutuskan untuk tetap berada di koridor tengah. “Bagaimanapun berada dalam posisi ini (sebagai Menteri) saya akan dapat selalu menjaga jarak dengan kalangan elite puncak politik di mana saya bekerja pada mandat yang diberikan tentunya dengan sentuhan kreativitas dan pendekatan sistem,” katanya.

Sarwono menyampaikan keputusannya itu ke Presiden Soeharto dalam pertemuan interaksi nonverbal. “Saya anggap waktunya tiba untuk memberi isyarat yang jelas bahwa saya tidak berminat menjadi lingkaran dalam beliau yang disebut ‘Orang Cendana’,” katanya.

Top