Aktivis Cilik Serukan Negara Buka Ruang Aduan Anak Terdampak Iklim

Reading time: 2 menit
Aktivis cilik serukan negara buka ruang aduan anak terdampak iklim. Foto: Ecoton
Aktivis cilik serukan negara buka ruang aduan anak terdampak iklim. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) – Aktivis cilik asal Gresik, Jawa Timur, Aeshina Azzahra Aqilani, atau Nina, bersuara tentang kesulitan anak muda dalam memperjuangkan lingkungan. Nina merasa bahwa pemerintah masih minim mendengar suara anak muda dalam hal kebijakan lingkungan. Ia pun meminta agar negara memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengadukan dampak perubahan iklim yang mereka rasakan.

Sebagai korban dari dampak pencemaran lingkungan akibat perdagangan sampah plastik global, Nina mengaku telah aktif menulis surat kepada para pemimpin negara maju. Nina meminta mereka untuk berhenti mengirimkan sampah plastik ke Indonesia.

Ia mendapatkan respons dari Uni Eropa yang berjanji akan menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia pada November 2026. Namun, upaya serupa yang ia lakukan dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia tidak membuahkan hasil.

BACA JUGA: Krisis Iklim Bisa Picu Jutaan Anak dan Keluarga Jatuh Miskin

β€œBahkan, Uni Eropa Membalas surat saya dan berjanji akan menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia padaΒ  November 2026. Namun, berkali-kali saya mengirim surat ke pemerintah Indonesia tidak mendapatkan respons,” ungkap Nina dalam Workshop Regional AICHR di Kuala Lumpur, Senin (30/6).

Dengan demikian, Nina merekomendasikan kepada AICHR Intergovernmental Commission on Human Rights agar memasukkan tiga prinsip dalam sistem pengaduan yang ramah anak. Di antaranya pengakuan, perlindungan, dan tindakan nyata.

β€œSaya ingin sistem ini mencakup pendidikan dan pendampingan untuk anak-anak, agar kami paham hak kami, tahu cara menggunakan alat pelaporan, dan punya pendamping orang dewasa yang mendampingi. Melaporkan kerusakan lingkungan tidak boleh terasa seperti berteriak di dalam botol. Sebalikanya, melaporkan kasus pencemaran harus terasa seperti membuka pintu menuju perubahan,” ujar Nina.

Anak Korban Perubahan Iklim

Kawasan Asia Tenggara adalah rumah bagi seperempat anak dunia, tetapi juga yang paling rawan bencana. Menurut Indeks Risiko Iklim Anak UNICEF, setiap negara di Asia Timur dan Pasifik berada dalam risiko “tinggi” atau “sangat tinggi”.

Sebanyak 140 juta anak juga sangat terpapar kelangkaan air. Di Indonesia, 84% air minum kita berasal dari air permukaan, termasuk sungai. Namun, 90% lebih sungai sudah tercemar berat oleh limbah industri, limbah domestik, perkebunan, mikroplastik, dan bahan kimia dari aktivitas pertambangan.

Selanjutnya, 460 juta anak menghirup udara beracun dan tercemar. Di Indonesia, 57% sampah dibakar, dan 40% sampah dunia dibakar. Bahkan, di sebuah desa pembuat tahu yang berada di Sidoarjo, plastik menjadi bahan bakar selama 20 tahun.

BACA JUGA: Aspek Kesehatan Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Kadar dioksin yang ditemukan dalam telur ayam di sana 80 kali lebih tinggi dari batas aman World Health Organization (WHO). Anak-anak di daerah itu menderita infeksi saluran pernapasan. Namun, pemerintah masih membiarkannya terus terjadi.

“Saya melihat begitu banyak anak muda yang berjuang melawan kecemasan iklim, stres, dan frustrasi. Terutama, anak perempuan yang sudah terbebani tekanan sosial. Menurut sebuah studi di Asia Tenggara, 64% anak mengatakan bahwa bencana iklim meningkatkan risiko pelecehan fisik atau emosional terhadap mereka,” kata Nina.

Tanggung Jawab Industri

Selain itu, kerusakan lingkungan seperti polusi udara dan pencemaran perairan juga dipicu oleh praktik bisnis yang hanya memprioritaskan profit, namun mengabaikan people dan planet. Menurut Nina, pelanggaran yang berdampak kerusakan lingkungan harus ditindak tegas, dibutuhkan penegakan nyata hukum lingkungan.

“Bukan sekadar regulasi di atas kertas, tapi pemantauan, hukuman, dan tindak lanjut yang nyata. Perusahaan pencemar harus didenda atau ditutup jika melanggar aturan pengelolaan limbah,” ujar Nina.

Nina menambahkan bahwa air bersih, udara bersih, dan rumah yang aman bukanlah kemewahan, melainkan hak asasi manusia. Menurutnya, industri wajib mematuhi standar pengolahan limbah, terutama di sektor berbahaya seperti plastik dan pertambangan.

“Jangan hanya memikirkan ekonomi. Pikirkan anak-anak yang menghirup udara itu, minum air,” ungkapnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top