Jakarta (Greeners) – Seorang penggiat olahraga sepeda, Dody Johanjaya menempuh perjalanan luar biasa sejauh 2.500 kilometer dari Jakarta menuju Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan ini bukan sekadar tentang menaklukkan jarak. Ia membawa misi sosial yang kuat, yaitu menggalang dana untuk merenovasi sebuah sekolah agar anak-anak di Lembata dapat belajar di tempat yang lebih layak.
Bagi Dody, ini bukan hanya petualangan bersepeda jarak jauh. Perjalanan ini adalah pengalaman pertamanya menggabungkan hobi ekstrem dengan aksi kemanusiaan. Ia menempuh rute menantang yang melewati Jakarta, Banyuwangi, Bali, Labuan Bajo, hingga Lembata. Setiap harinya ia mengayuh sejauh 200 hingga 300 kilometer dengan target mencapai tujuan dalam waktu 20 hari.
Persiapannya dilakukan dengan sangat serius. Ia menjalani latihan sejauh 500 hingga 600 kilometer per minggu, termasuk simulasi rute Jakarta ke Yogyakarta sambil membawa seluruh perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan biaya operasional yang minim, Dody memilih untuk melakukan perjalanan ini seorang diri. Meski penuh risiko dan kelelahan, keputusan ini diambil demi efisiensi.
BACA JUGA: Puan-Puan Bersepeda Solid Gandeng Pesepeda Pemula
“Ini ujian terbesar. Tapi, bayangkan senyum anak-anak Lembata demi pendidikan yang setara. Itu bahan bakar terbaik,” ujar Dody dalam keterangan tertulisnya.
Hingga kini, dana yang berhasil terkumpul baru mencapai sekitar 25 persen dari target Rp100 juta. Namun, Dody tak gentar dan terus melangkah.
βSaya tidak berharap banyak, yang penting saya sudah berusaha, dan semoga usaha ini bisa berdampak. Sekolah nanti yang akan mengelola dana itu sebaik mungkin. Tugas saya adalah bergerak, dan itulah yang akan saya lakukan,” tambah Dody.
Dari layar kaca ke jalur berdebu sepanjang ribuan kilometer, ia membuktikan bahwa perjalanan hidup bisa berubah arah, tapi tetap bermakna. “Terkadang, langkah yang paling bermakna justru adalah langkah, atau kayuhan, yang kita ambil untuk orang lain,” ucapnya.

Penggiat olahraga sepeda, Dody Johanjaya menempuh perjalanan sejauh 2.500 kilometer dari Jakarta menuju Lembata, NTT. Foto: Yayasan Plan International Indonesia.
Ketimpangan yang Memilukan
Sebelumnya, pada 2022 ia juga pernah membawa sepeda lipatnya ke Lembata. Di sana, ia menyaksikan langsung ketimpangan yang memilukan. Dody melihat anak-anak bersekolah tanpa alas kaki, bangunan yang reyot, dan keterbatasan fasilitas.
“Saya nggak bisa diam. Harus ada yang saya lakukan,” ujar Dody.
Inspirasi itu datang saat ia mengawali petualangan Devi, pegiat Run for Equality yang bersepeda untuk air bersih di NTT dengan rute dari Jakarta ke Bali. Dody lantas berpikir, “Kenapa nggak saya lakukan hal serupa untuk pendidikan di Lembata?”
Pikiran itu akhirnya mengkristal menjadi proyek sosial pertamanya yang berkolaborasi dengan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia).Β Kisah tentang sebuah madrasah di Desa Wowong, Lembata sampai ke telinga Dody. Ia pun terinspirasi oleh semangat warga, akhirnya Dody memutuskan untuk bertindak.
Pendidikan di Lembata Terancam
Di pulau Lembata, NTT, banyak anak lulusan SD yang nasib pendidikannya terancam. Tidak ada sekolah menengah di desa mereka. Bahkan, jarak yang jauh membuat orang tua ragu melepas anaknya pergi.
Tahun lalu, warga sebuah desa di Lembata memutuskan untuk bertindak sendiri. Dengan swadaya, mereka mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara SMP. Bangunannya seadanya, yaitu bambu untuk dinding, papan bekas untuk meja, dan atap yang tak selalu mampu menahan terik matahari atau hujan.
Tapi dari “sekolah darurat” ini, harapan tumbuh. Awalnya, hanya anak-anak Wowong yang bersekolah di sini. Kini, murid-murid dari desa tetangga mulai berdatangan. Setiap pagi, puluhan anak berjalan kaki melintasi bukit, seragam mereka mungkin sudah lusuh, tapi mata mereka tetap berbinar.
BACA JUGA: Sejuta Sepeda Satu Indonesia untuk Lestarikan Lingkungan
Namun, masalah baru muncul: ruangan tak lagi cukup. Beberapa kelas harus bergantian menggunakan ruangan yang sama. Saat hujan, pembelajaran sering terhenti karena atap bocor.
Kepala Desa Wowong, Jubir Latif menatap bangunan sekolah sederhana itu. Dinding bambu yang mulai lapuk, atap yang bocor ketika hujan, dan ruang kelas sempit yang harus menampung puluhan anak. Tapi di mata pria paruh baya itu, bangunan darurat ini adalah sebuah benteng terakhir.
“Kalau kami tidak mendirikan MTs ini, anak-anak di sini akan putus sekolah. Mereka harus berjalan puluhan kilometer ke desa lain, atau berhenti belajar sama sekali,” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia