Menipisnya Regenerasi Penenun Menjadi Ancaman Budaya

Reading time: 3 menit
Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Foto: Dini Jembar Wardani
Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Saat ini, sebagian besar pengrajin tenun hanya menyisakan sekelompok orang tua atau lansia.

Pameran Fotografi “Tuturan Timur: Tenun dan Budaya yang Hilang” menjadi upaya Terasmitra untuk menahan laju kehilangan penenun tradisional. Bersama komunitas lainnya, pameran tersebut menyuguhkan potret para penenun perempuan di wilayah Indonesia Timur, misalnya dari Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Ancaman penenun saat ini adalah tidak ada regenerasi. Ada salah satu foto yang di sini menceritakan ada foto ibu-ibu tua dengan anak-anak dan cucunya. Jadi, dalam satu keluarga itu cuma nenek itu saja yang bisa menenun, yang lainnya tidak bisa,” ungkap koordinator pameran fotografi, Amelia Rina Nogo de Ornay kepada Greeners, Rabu (11/10). 

Padahal, lanjut Amelia, di Nusa Tenggara Timur, menenun adalah sebuah tradisi. Kain tenun telah menjadi pakaian masyarakat sehari-hari.

BACA JUGA: Tenun Ikat Sumba, Eksotisme Nusa Tenggara Timur dalam Kain

“Ada adat seperti ‘kalau tidak bisa menenun, tidak boleh menikah’. Nah, mungkin karena dampak modernisasi, jadi anak-anak muda itu kadang ada yang merantau dan sudah punya pekerjaan lain,” kata Amelia. 

Selain itu, budaya tenun yang kian terancam juga didukung faktor lainnya. Misalnya, soal pasar atau harga yang semakin bersaing. Sebab, hasil tenunan yang asli cenderung memiliki harga tinggi. Penenun juga membuatnya memakan waktu tiga bulan. Itulah yang sangat berpengaruh kepada harga pasar.

Menurut Amelia, banyak penenun yang pendapatannya semakin berkurang dan tidak tetap. Para penenun kini banyak bersaing dengan para penjual tenun di bawah harga standar. Hal ini juga menjadi ancaman bagi penenun.

Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Foto: Dini Jembar Wardani

Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Foto: Dini Jembar Wardani

Lestarikan Budaya Lewat Pameran Foto

Perkumpulan Terasmitra yang bekerja sama dengan GEF SGP Indonesia, Perkumpulan LAWE, Pannafoto Institute, dan Literasi Visual mencoba berupaya untuk mempertahankan ruang hidup penenun tradisional. Khususnya para perempuan di Indonesia wilayah timur yang kini masih konsisten untuk mempertahankan budaya Indonesia dengan menenun.

“Kami fokus pada knowledge lokal dan kami mau ngangkat local knowledge yang ada di daerah, terus kami sharing keluar. Nah, salah satu bentuknya berupa pameran. Kami juga ada diskusi tentang budaya yang hilang, workshop tentang tenun, hingga fotografi,” kata Amalia.

Uniknya, lanjut Amalia, dalam setiap foto yang dipajang terdapat deskripsi yang menceritakan foto tersebut. Hal ini bisa mengetuk hati publik untuk bersama-sama “bangun” dan “sadar” akan bencana kehilangan budaya tenun yang sudah ada di pelupuk mata.

Terasmitra juga terus mendukung para penenun agar bisa membentuk regenerasi tenun lewat pelatihan. Misalnya, dari segi penjualannya hingga membangun kualitas produksinya.

Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Foto: Dini Jembar Wardani

Budaya tenun di wilayah Indonesia timur kini semakin terancam akibat menipisnya regenerasi penenun. Foto: Dini Jembar Wardani

Pengalaman Baru bagi Fotografer

Salah satu fotografer yang memamerkan fotonya dalam pameran ini, Rosa Panggabean bercerita bahwa memotret penenun pada sejumlah desa di Nusa Tenggara Timur menjadi pengalaman baru baginya.

“Kalau pengalaman, kan, prosesnya mungkin dua minggu, ya. Untuk motret sebenarnya kami mengunjungi dari desa ke desa gitu, mencari siapa, sih, maestro tenunnya?” ucap Rosa. 

Sebagai fotografer, Rosa telah mengabadikan motif-motif tenun yang turun-temurun. Di sisi lain, Rosa juga ditemani oleh penulis. Sehingga, dirinya bisa berdiskusi banyak hal tentang bagaimana masyarakat menggunakan kain tenun tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

Bukan soal hasil foto epik yang Rosa dapatkan, melainkan sebuah makna dari foto yang dipotretnya. Menurut Rosa, ada banyak cerita soal tenun yang bisa membawa manfaat bagi sejumlah keluarga di sana.

BACA JUGA: Torajamelo: Menenun Kisah Kasih Perempuan dan Lingkungan

“Ada mama yang bangga bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana dari tenun. Jadi, ada cerita-cerita yang justru kami temui di jalanan. Enggak melulu tentang proses pembuatan tenun atau bagaimana menurunkan motif-motif tenun,” tambah Rosa. 

Melalui pameran ini, Rosa berharap bisa memantik sebuah perbincangan soal kebudayaan Indonesia yang kini terancam hilang, terutama soal permasalahan regenerasi penenun. Dia berharap dari diskusi ini bisa menciptakan kondisi lebih baik dari sisi kesejahteraan atau secara kebudayaan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top