Akhirnya, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Dibahas DPR

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Sedikitnya ada 2,2 juta jiwa nelayan yang bergerak di sektor perikanan tangkap dan 3,5 juta jiwa pembudidaya, perempuan nelayan, dan petambak garam yang ada di Indonesia. Mereka dirasa akan menyambut positif dimulainya pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, menegaskan, dimulainya pembahasan RUU tersebut seharusnya menjadi momentum baik bagi negara untuk mengakui dan memuliakan “pahlawan protein” sekaligus produsen pangan bagi kebutuhan nasional, yakni nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam.

“Selama ini kan profesi mereka banyak diabaikan. Bertolak dari draf naskah akademik dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan yang disiapkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI per tanggal 1 Juni 2015, sekarang mulai terlihat jelas upaya menghadirkan negara untuk melindungi dan menyejahterakan para pahlawan ini,” jelasnya kepada Greeners, Jakarta, Jumat (19/06).

Di dalam Rapat Dengar Pendapat Umum yang digelar oleh Komisi IV di Gedung Nusantara, Selasa (16/06) lalu, lanjut Halim, KIARA juga mengingatkan kepada para wakil rakyat bahwa RUU ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menghapus tiga kesalahpahaman yang dialamatkan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya dan petambak garam.

Kesalahpahaman pertama adalah, dalam tingkatan pendapatan, nelayan bukanlah yang termiskin (the poorest of the poor). Menurut Abdul, fakta yang terpampang jelas adalah absennya negara dalam memastikan pelayanan hak-hak dasar dan program peningkatan kesejahteraan nelayan tepat sasaran sehingga tengkulak (middle man) memanfaatkan peluang ini. Alhasil, prinsip “survival of the fittest” berlaku di perkampungan nelayan.

Kedua, kerentanan nelayan semakin besar akibat ketidakpastian sistem produksi (melaut, mengolah hasil tangkapan, dan memasarkannya) dan perlindungan terhadap wilayah tangkapnya. Sementara, lanjut Abdul, Menteri Kelautan danPerikanan dimandatkan untuk menjalankan usaha perikanan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Hal ini tercantum dalam pasal 25 ayat (1), UU nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan.

“Ketidakmampuan pemangku kebijakan dalam mengejawantahkan mandat UU inilah yang berujung pada tingginya resiko kegagalan ekonomi, kebijakan dan institusi masyarakat nelayan,” lanjutnya.

Pada tahun 2010, KIARA mendapati nelayan memiliki tumpukan hutang hingga tiga puluh juta rupiah tanpa bisa mengangsur ke tengkulak di Desa Gebang Kulon, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, sampai dengan hari ini. Dalam situasi inilah, perempuan nelayan berperan penting selama 17 jam per hari untuk menopang kebutuhan hidup keluarga dengan kontribusi sebesar 48 persen.

“Ketiga, marjinalisasi sosial dan politik oleh kekuasaan berimbas kepada minimnya akses masyarakat nelayan terhadap pelayanan hak-hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, akses air bersih, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi,” tuturnya.

Selain itu, Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) juga menambahkan, RUU ini harus melihat kekhususan hak yang dimiliki oleh nelayan, baik sebagai warga negara maupun pelaku perikanan skala kecil.

“RUU ini akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Tanpa dilatari semangat untuk mengakui dan memuliakan pahlawan protein sekaligus produsen pangan tersebut, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan hanya akan menjadi lembaran negara tanpa meninggalkan jejak kesejahteraan di 10.666 desa pesisir,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top