Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia meluncurkan laporan kerugian akibat pencemaran industri di wilayah Rancaekek, Bandung hingga memperparah kondisi lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) Cikijing. Dalam laporan bertajuk “Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri” Greenpeace mencatat bahwa beragam polutan ditemukan di dalam air sungai, sedimen, lahan persawahan, dan sumur warga.
Detox Campaigner Greenpeace Indonesia Ahmad Ashov Birry mengatakan bahwa konsentrasi logam berat di dalam badan air semakin meningkat setelah mendapat buangan limbah. Bahkan, menurut laporan bahan beracun lepas kendali dari Greenpeace Asia Tenggara dan Walhi Jawa Barat pada 2012, sempat tercatat air Sungai Cikijing terpapar logam beracun, seperti timbel (Pb) dan merkuri (Hg).
“Hasil investigasi menemukan logam berat beracun seperti merkuri, kadmium (Cd), kromium (Cr), dan timbel ada di dalam sedimen Sungai Cikijing,” katanya di Jakarta, Selasa (05/04).
Sungai Cikijing sendiri, katanya, bukanlah tipe sungai yang selalu dialiri air, sehingga bila musim kering datang yang tersisa hanya limbah. Laporan terbaru Greenpeace juga menunjukkan adanya permasalahan dalam pembuangan limbah cair industri di wilayah tersebut. Hal ini terlihat ketika terjadi masalah limbah di sungai, pemerintah masih sangat sulit untuk mengetahui pelakunya.
“Pemerintah hanya mendata outlet (pipa pembuangan pada industri) bukan outfall (tempat pipa bermuara). Ada banyak pipa-pipa siluman yang tidak diketahui milik siapa,” tambah Ashov.
Menurut Dhanur Santiko dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, akar masalah limbah cair di Rancaekek adalah ketidakseriusan dalam pengaturan Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC). Padahal, untuk mendapatkan IPLC, seharusnya pihak industri wajib menyertakan bahan kimia yang dibuang, volumenya, serta hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
“Nantinya setelah dokumen diterima, seharusnya ada kajian ulang. Sedangkan selama ini tidak pernah dilakukan pengkajian ulang,” tuturnya.
Hasil studi Greenpeace Indonesia beserta tim peneliti Institut Ekologi dari Universitas Padjadjaran mengungkapkan, kerugian masyarakat akibat limbah tersebut mencapai Rp 11,385 triliun dalam 12 tahun terakhir. Itu pun belum termasuk biaya abai baku mutu. Sedangkan total lahan yang tercemar mencapai 934 hektare.
Laporan yang didasarkan atas studi pada empat desa di Rancaekek, Kabupaten Bandung, yakni Sukamulya, Linggar, Jelegong, dan Bojongloa itu menguak bahwa kerugian pada sektor pertanian selama 12 tahun terakhir mencapai Rp 841.741.893.000.
Padahal sebelumnya, empat desa itu mempunyai produktivitas gabah 7,5 ton per hektare dengan intensitas panen 2-3 kali per tahun. Namun, setelah ada pabrik di sekitarnya, produktivitas padi turun sebesar 97 persen. Sementara itu, intensitas panen juga turun menjadi hanya 1 sampai 2 kali per tahun.
“Akibat limbah ini, secara rinci total kerugian akibat penurunan kualitas udara mencapai Rp 1,37 triliun, sektor kesehatan sekitar Rp 815 miliar, pertanian Rp 841 miliar, dan perikanan Rp 10,5 miliar. Sedangkan kerugian pada sektor peternakan dan perkebunan mencapai Rp 2 miliar, kehilangan pendapatan akibat tidak bisa meladang atau sakit Rp 7,3 miliar, kehilangan jasa air Rp 288 miliar, dan estimasi remediasi Rp 8 triliun,” tutup Ashov.
Penulis: Danny Kosasih