Banjir di Jabodetabek Potret Kesalahan dalam Menata Ruang Kota

Reading time: 3 menit
Banjir di Jabodetabek potret kesalahan dalam menata ruang kota. Foto: Dini Jembar Wardani
Banjir di Jabodetabek potret kesalahan dalam menata ruang kota. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) mengalami bencana banjir yang cukup parah pada pekan lalu. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), buruknya kondisi banjir di Jabodetabek bukan hanya disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi, tetapi juga perubahan tata ruang dan alih fungsi lahan yang terus berlangsung.

Degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah hulu, terutama Kabupaten Bogor menjadi salah satu penyebabnya. Masifnya pembangunan di kawasan hulu yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan (wilayah serap air), menyebabkan banjir berkepanjangan di wilayah hilir yang kedap air.

Hal tersebut membuat air hujan sulit terserap, sehingga banjir di kawasan hilir, seperti Bekasi, semakin parah. Pembangunan yang tidak terkendali ini terlihat dengan jelas dalam pembukaan lahan di wilayah hulu untuk kepentingan perumahan, industri, dan investasi skala besar.

Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Nasional, Dwi Sawung mengatakan bahwa banjir besar yang terjadi di Jabodetabek bukan hanya karena krisis iklim. Banjir terjadi karena perubahan tata ruang, baik hulu maupun di hilir DAS oleh kepentingan-kepentingan komersial jangka pendek. Perubahan ini tidak mempertimbangkan keselamatan dan lingkungan dalam jangka panjang.

“Alih fungsi ruang tersebut harus segera dihentikan, bahkan harus dikembalikan ke kondisi semula apabila kita tidak ingin mendapatkan bencana yang sama. Bahkan lebih parah di masa depan,” ujar Dwi dalam keterangan tertulisnya.

Berdasarkan analisis citra satelit Landsat 8 oleh Walhi yang membandingkan data tahun 2020 dengan 2025, terlihat jelas bagaimana dalam lima tahun terakhir pembangunan masif dan amburadul di wilayah hulu semakin mengurangi daerah resapan air. Peta klasifikasi daerah resapan air di Kabupaten Bogor (hulu) menunjukkan dampak buruknya terhadap wilayah hilir, seperti Bekasi, yang semakin rentan terhadap bencana banjir.

Banjir di Jabodetabek potret kesalahan dalam menata ruang kota. Foto: Walhi

Banjir di Jabodetabek potret kesalahan dalam menata ruang kota. Foto: Walhi

Kerusakan Lingkungan Meningkat

Dalam lima tahun terakhir, Walhi Jawa Barat mencatat peningkatan kerusakan lingkungan di kawasan ini, yang meningkat dari 45 persen menjadi 65 persen. Alih fungsi lahan yang terus terjadi sering kali mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (AMDAL), terutama di kawasan rawan bencana.

Walhi Jawa Barat juga menyoroti kurangnya pengawasan terhadap izin usaha properti dan wisata. Aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal semakin memperburuk kondisi tanah, menjadikannya lebih rentan terhadap erosi dan longsor. Kawasan-kawasan seperti Puncak, Jonggol, Cikeas, Sentul, dan Hambalang yang seharusnya menjadi daerah resapan air, kini telah beralih fungsi. Akibatnya, limpahan air banjir terus mengalir dan berdampak hingga ke Bekasi dan Jakarta.

Meski curah hujan pada tahun 2025 belum sebesar banjir besar tahun 2020, namun dampaknya tetap parah. Citra satelit menunjukkan adanya pertambangan batuan karst yang cukup luas di Kabupaten Bogor. Kemudian, aliran sungainya mengarah ke DAS Kali Bekasi. Pembukaan lahan untuk pertambangan ini semakin memperburuk kondisi, seperti yang terlihat dalam citra satelit berkala.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang, mengungkapkan bahwa dua tahun lalu, Walhi Jawa Barat telah mengkritik pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi.

Walhi meminta agar pemerintah di wilayah tersebut segera menertibkan bangunan liar dan menghentikan penerbitan izin untuk tambang serta properti. Menurutnya, banjir yang melanda DKI Jakarta merupakan akibat dari ketidakpatuhan pemerintah terhadap kebijakan Tata Ruang Wilayah (RTRW).

“Kawasan Puncak hingga Gunung Mas seharusnya menjadi kawasan resapan air yang membutuhkan perlindungan.Β  Namun, faktanya izin-izin tambang, pembangunan vila, hotel, dan pengembangan wisata semakin tidak terkendali,” ucapnya.

Walhi Jawa Barat mendesak pemerintah untuk membentuk tim investigasi terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak patuh terhadap kebijakan lingkungan. Pemerintah juga harus menegakkan keadilan dan memberikan sanksi tegas, termasuk penjara, bagi pelaku yang merusak alam.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top