Bencana Asap “Buah Perkawinan” Kejahatan Korporasi dan Pembiaran Pemerintah

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Bencana asap yang terjadi di Indonesia disebut Greenpeace Indonesia sebagai buah dari perkawinan kejahatan yang terorganisir dari korporasi dan pembiaran secara terstruktur oleh pemerintah. Hal ini dikatakan oleh Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan dari Greenpeace Indonesia saat meyampaikan paparannya dalam diskusi bertajuk “Southeast Asia’s Haze Problems: Integrating Local, National and Regional Approaches” di Jakarta.

Teguh menyampaikan, memang jika melihat di media, banyak perusahaan yang mengeluh mengalami kerugian akibat lahan-lahan yang terbakar seperti akasia dan lainnya miliki perusahaan. Namun pada kenyataanya, selama 18 tahun tragedi kebakaran lahan dan hutan terjadi di Indonesia, ia mengaku masih belum melihat adanya kemauan para pelaku bisnis untuk mengatasi permasalahan kebakaran ini.

“Bahkan hasil audit tahun 2013-2014 dari UKP4 bersama dengan BP REDD+ dan pemerintah Riau sangat jelas menunjukkan tidak adanya upaya dari korporasi seperti itu, begitupula dengan pemerintah,” papar Teguh, Jakarta, Rabu (28/10).

Sedangkan untuk pemerintah, pembiaran struktural yang dimaksud adalah izin untuk mengkonversi lahan gambut dan pengeringan gambut itu diberikan setidaknya sejak dua dekade lamanya. Bahkan izin tersebut diberikan sebelum Indonesia memiliki peta arahan yang jelas tentang lahan gambut.

“Kita itu hanya punya peta indikatifnya saja. Bagaimana mungkin izin diberikan tetapi kita tidak punya referensi,” tambahnya.

Ketika terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, barulah pemerintah menginstruksikan maksimal dua tahun setelahnya pemerintah harus menyiapkan peta hidrologi kawasan gambut. Dua tahun setelah itu harus ada peta kawasan lindung untuk ekosistem gambut.

“Jadi selama ini 21 juta hektar total lahan gambut Indonesia dikelola atau diberikan hak kelolanya untuk dikonversi kemudian dikeringkan untuk ditanami sawit dan HTI. Selama puluhan tahun yang lalu itu tanpa peta data yang jelas. Bahkan, lanjutnya, setelah bencana terjadi setiap tahun ke tahun tidak pernah ada proses evaluasi perizinan secara komprehensif,” katanya.

Pembiaran ke dua, tutur Teguh lagi, dalam setiap bencana kebakaran terlihat banyak sekali warga masyarakat yang ditangkap akibat perdebatan antara “dibakar” atau “terbakar”. Dalam hal ini, Teguh menyatakan keheranannya karena lahan milik beberapa pelaku yang diduga dan tertangkap tangan itu lahannya kemudian diberikan izin.

Ia menyontohkan peristiwa di Nyaru Menteng beberapa waktu lalu saat Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengunggah foto lahan bekas terbakar yang ditanami sawit.

“Dari analisis kami, secara struktural tidak ada niat pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top