Bencana Banjir dan Longsor, Pengelolaan DAS Belum Maksimal

Reading time: 2 menit
Bencana banjir dan longsor tidak lepas dari pengaruh rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS). Foto: U.S. Embassy Jakarta/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di sejumlah daerah saat ini tidak lepas dari rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh sebab itu, ketaatan terhadap Rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang dirancang melalui multipihak seharusnya mampu menjadi solusi mengatasi permasalahan rusaknya DAS.

Direktur Jendral (Dirjen) Pengelolaaan DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hilman Nugroho mengungkapkan, saat ini sebanyak 2.087 dari 17.000 DAS seluruh Indonesia dalam kondisi rusak. Jika dilihat dari tutupan lahannya, terdapat sekitar 24,3 juta hektare lahan yang berada dalam status kritis.

Apalagi, katanya, berbicara wilayah DAS bukan hanya bicara tentang wilayah yang berada di kanan dan kiri sungai, melainkan keseluruhan wilayah yang menampung, menyimpan dan menyalurkan air hujan sebelum dikeluarkan melalui sungai, danau atau laut.

“Ini berarti seluruh wilayah daratan terbagi habis dalam beberapa DAS. Makanya persoalan ini tentu harus kita selesaikan bersama,” kata Hilman usai acara Apresiasi Yayasan Kehati Pelestarian Mangrove di Jakarta, Kamis (11/02).

Permasalahan yang terjadi pada DAS bukan hanya lintas pengelola, tetapi juga lintas sektor dan lintas wilayah administrasi. Pada suatu DAS juga terdapat banyak pemangku kepentingan dengan tujuan masing-masing. Menurut Hilman, diperlukan rencana pengelolaan yang terpadu agar masing-masing stakeholder bisa menyamakan tujuan dalam pemanfaatan dan pengelolan DAS.

Hilman menyatakan, semua pihak harus menjalankan perannya dengan baik demi pencegahan banjir. Bendungan yang rusak harus diperbaiki, sedimentasi sungai dikeruk, dan perilaku kehidupan masyarakat juga harus berubah agar jangan menyebabkan banjir.

Upaya pencegahan banjir sendiri akan lebih efektif dengan mengikuti Proyek Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Terpadu. Dokumen tersebut harus dirancang multipihak untuk mengakomodasi semua kepentingan. RPDAS Terpadu merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Menurut Hilman, sebanyak 138 DAS prioritas telah memiliki dokumen RPDAS Terpadu.

Selain itu, sebagai sistem deteksi dini, Hilman mengatakan kalau KLHK juga telah memiliki peta daerah rawan banjir dan tanah longsor. Peta tersebut diperbarui setiap tahun menggunakan Aplikasi Sistem Standar Operasi Prosedur Banjir dan Tanah Longsor (SSOP BANTAL) berbasis satuan analisa DAS. Ini dikarenakan potensi banjir dan longsor bencana sebuah wilayah berbeda-beda dan dipengaruhi banyak faktor, termasuk kelerengan, jenis tanah, curah hujan, jenis tanaman, dan faktor lainnya.

“Aplikasi ini berguna untuk mengetahui lokasi rawan banjir dan tanah longsor, serta dapat memberikan solusi arahan fungsi berupa manajemen pengelolaan wilayah rawan bencana,” tandasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top