Empat tahun lalu, Masjid KH Ahmad Dahlan memutuskan untuk tak lagi sepenuhnya bergantung pada listrik berbasis fosil. Lewat pemasangan PLTS atap, masjid ini menunjukkan bahwa transisi menuju energi bersih bisa kita mulai dari ruang ibadah. Sejak saat itu, tagihan listrik ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun perlahanΒ berkurang.Β Β
Jakarta (Greeners) – Berdiri kokoh di tengah Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Masjid KH Ahmad Dahlan bukan sekadar tempat ibadah. Sejak berdiri pada 2012, masjid yang berada di Jawa Timur ini tumbuh menjadi pusat kegiatan sosial, pendidikan, hingga pengasuhan anak. Di atas atapnya, panel-panel surya menyerap sinar matahari setiap hari, mengubahnya menjadi energi yang menghidupkan berbagai aktivitas di sana.
Ketua Takmir Masjid KH Ahmad Dahlan, Sugiyanto (54), tak pernah menyangka bahwa masjid yang dulu ia bayangkan akan terus bergantung pada energi fosil, kini justru bisa menggunakan energi bersih.
Pagi itu, Sugiyanto mengenang masa-masa sebelum PLTS terpasangβketika tagihan listrik masjid kerap membengkak dan jadi beban tersendiri. Kini, empat tahun berselang, ia bisa bernapas lega.
βDulu, biaya listrik kami bisa mencapai Rp1,7 juta hingga Rp2 juta per bulan. Sekarang, dengan adanya panel surya, pengeluaran kami berkurang sekitar 30 persen. Kini bisa ditekan menjadi sekitar Rp1 juta,β kata Sugiyanto kepada Greeners.
Inisiatif pemasangan panel surya di masjid ini merupakan gagasan Novendra Setiawan, seorang dosen Teknik Elektro di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang juga merupakan jamaah masjid tersebut.
Melihat tingginya biaya listrik yang harus masjid tanggung, Novendra terdorong untuk secara sukarela menginisiasi pemasangan panel surya sebagai bentuk kontribusinya. Ia pun melibatkan para mahasiswanya dalam proses pemasangan instalasi, melalui program pengabdian masyarakat di kampusnya.
Bagi Sugiyanto, langkah ini sangat berarti. Walau belum 100 persen menggunakan energi matahari, biaya yang bisanya untuk membayar listrik bisa mereka alihkan untuk mendukung kegiatan sosial lainnya. Ia merasa bersyukur karena masjid ikut berkontribusi dalam menghadapi krisis iklim.
Surya Menopang Ibadah
Masjid ini telah memasang empat panel surya berukuran 8 x 10 meter, masing-masing menghasilkan daya sekitar 600 watt-peak (wp). Selain itu, terdapat empat panel tambahan yang dipasang pada tahun 2023 dengan kapasitas 2.200 wp, sehingga total kapasitas PLTS yang terpasang saat ini mencapai 2.800 wp atau 2,8 kilowatt hour (kWh).Β
Energi matahari ini diserap, kemudian disimpan dalam delapan baterai dan diubah menjadi listrik AC melalui inverter. PLTS atap ini telah memenuhi kebutuhan listrik untuk tiga lantai masjid tersebut yang sering diisi oleh berbagai aktivitas.Β
Di lantai satu ada aktivitas dari amal usaha, yaitu tempat pengasuhan anak (TPA) dan PAUD. Sementara, lantai dua dan tiga untuk kegiatan keagamaan seperti salat, mengaji, dan kajian, yang bertujuan untuk memperluas penyebaran dakwah.Β
Saat ini, kebutuhan energi masjid berkisar 6 kWh dari PLN, dengan rata-rata konsumsi harian mencapai 15 kWh. Untuk mengoperasikan seluruh peralatan masjid, total kebutuhan energi dalam sehari mencapai sekitar 30 kWh. Dari pemasangan PLTS atap di masjid ini berhasil mencegah emisi sebesar 2,31 ton karbon dioksida (COβ) per tahun.

Sugiyanto sedang menjelaskan teknologi inverter, yang mengubah arus DC yang dihasilkan panel surya menjadi arus listrik AC di Masjid KH Ahmad Dahlan. Foto: Dini Jembar Wardani
Mandiri Lewat Surya
PLTS yang terpasang di masjid ini menggunakan sistemΒ off-grid, yaitu perangkat yang menggabungkan panel surya dan baterai untuk menghasilkan listrik secara mandiri tanpa bergantung pada jaringan PLN.Β
Pada tahun 2025, CoE PLTS UMM melakukan pemeliharaan dengan mengganti jenis inverter menjadi string inverter off-grid. Pembaruan ini memungkinkan proses perpindahan sumber listrik berjalan secara otomatis, tidak lagi secara manual seperti sebelumnya, di mana pengelola harus mengganti saluran antara PLN dan PLTS secara bergantian. Kini, pengelolaan sistem menjadi jauh lebih efisien. Bahkan, operator dapat memantau dan mengendalikan sistem melalui ponsel.
Pada siang hari, energi dari panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik masjid, sementara kelebihannya tersimpan dalam baterai. Ketika sore tiba, sistem hybrid otomatis beralih menggunakan daya dari baterai. Saat malam hari, listrik tetap mendapatkan suplai dari energi yang tersimpan. Jika baterai habis, inverter akan otomatis mengalihkan pasokan ke jaringan listrik pusat.
BACA JUGA: UGM Manfaatkan Panel Surya sebagai Sumber Listrik Warga Makassar
Namun, sistemΒ off-grid ini tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah usia pakai baterai yang hanya bertahan sekitar lima tahun. Setelah itu, harus ada penggantian baterai dengan biaya mencapai puluhan juta rupiah.
βSatu baterai saja bisa menghabiskan biaya sekitar Rp4 juta. Karena kami menggunakan delapan baterai, totalnya bisa mencapai Rp32 juta,β ujar Sugiyanto.
Pemasangan PLTS atap juga membutuhkan biaya yang cukup besar, Sugiyanto mengungkapkan butuh biaya sekitar Rp40 juta untuk pemasangan instalasi tersebut. Meski angkanya terbilang besar, ia meyakini bahwa investasi ini sebanding dengan manfaat jangka panjang seperti pengurangan biaya listrik dan emisi.Β
Selama empat tahun ini, Sugiyantoβyang juga menjadi operator utama panel surya nyaris tak menemui kendala. Menurutnya, perawatan panel pun cukup sederhana, hanya perlu rutin dilap agar tetap bersih. Hingga kini, panel-panel tersebut tetap aman, tak pernah diotak-atik, dan belum pernah mengalami kerusakan.
Target Nasional Merosot
Konsistensi penggunaan panel surya di Masjid KH Ahmad Dahlan Malang menjadi contoh dukungan dari level komunitas terhadap target besar transisi energi nasional. Langkah kecil ini menyiratkan bahwa upaya menuju energi bersih bisa berawal dari ruang ibadah di tengah desa.Β
Namun, secara nasional, perjalanan menuju target energi bersih masih menemui tantangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa hingga akhir 2024, bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia baru mencapai 14 persen. Capaian ini jauh dari target pemerintah sebesar 17β20 persen pada tahun 2025.
Padahal, sebelumnya pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen. Namun, Kementerian ESDM menurunkannya melalui penyesuaian, terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dalam siaran berita acara, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa penurunan target ini karena capaian tahun lalu masih di bawah ekspektasi.Β
Pantauan PLN
Di sisi lain, di lapangan, semangat dari masyarakat tetap menyala. Sugiyanto mengenang bagaimana proses pemasangan PLTS atap bisa berlangsung dengan cepat.Β
βPemasangannya cuma sekitar dua hari. Enggak ada izin-izin khusus juga yang perlu kami ajukan ke PLN,β ujarnya.
Namun, sekitar sebulan setelah PLTS mulai beroperasi, petugas dari PLN datang mengecek meteran listrik masjid. Kedatangan itu terjadi dua kali.
βMereka hanya datang ketika PLTS ini sudah terpasang dan emang enggak nanya gimana-gimana. Mereka cuma memastikan oh di sini ada PLTS, karena mungkin terlihat dari meterannya tuh berkurang. Saya menegaskan saja ke petugasnya, ini masih tinggi kok kami pakai listrik dari PLN,β kata Sugiyanto.
Meski tidak ada larangan eksplisit, kehadiran PLN kerap memunculkan kesan yang kurang nyaman bagi sebagian masyarakat. Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, menilai bahwa sikap PLN semacam itu bisa membuat masyarakat merasa terintimidasi.Β
βJika pemerintah memang berkomitmen untuk transisi ke energi terbarukan, sudah semestinya hal tersebut pemerintah lakukan dengan benar, termasuk menjaga rasa aman ketika menggunakan energi terbarukan,β ucapnya.Β
Di sisi lain, Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PT PLN (Persero), Gregorius Adi Trianto menjelaskan, bahwa pengecekan oleh PLN ini bertujuan untuk memastikan bahwa instalasi PLTS Atap sesuai dengan standar teknis dan keselamatan yang berlaku.Β
βHal ini penting agar PLTS dapat berfungsi dengan baik, tidak mengganggu kestabilan jaringan listrik, dan aman bagi pelanggan serta masyarakat sekitar,β ujarnya.Β
Potensi Surya TerabaikanΒ
Kontrasnya, Indonesia juga masih menjadi salah satu yang masih besar bergantung pada batu bara. Global Energy Monitor mencatat pada 2023, Indonesia menjadi penghasil emisi PLTU batu bara terbesar kelima di dunia.Β
Sementara, data International Energy Agency (IEA) menunjukkan 51 persen emisi karbon dioksida nasional berasal dari pembangkit listrik batu bara yang mendominasi 67 persen sumber listrik domestik. Namun, Indonesia bisa perlahan lepas dari batu bara karena potensi energi bersih sangat besar.Β
Menurut analisis International Renewable Energy Agency (IRENA), total potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.692 giga watt (GW), dan sekitar 2.898 GW di antaranya berasal dari tenaga surya. Sementara itu, menurut data dari Kementerian ESDM, potensi energi surya saat ini baru termanfaatkan sekitar 200 MW saja.
Beyrra menilai masalah utama bukan lagi regulasi, melainkan kurangnya kemauan politik dari pemerintah. Ia menekankan bahwa PLTS atap seharusnya jadi prioritas karena paling inklusif, minim konflik sosial, dan cocok dengan kondisi Indonesia yang kaya sinar matahari. Namun, pemanfaatannya masih rendah karena kurangnya dukungan kebijakan. Pemerintah justru lebih fokus pada proyek besar seperti geothermal yang sering menimbulkan konflik lahan.
Kebijakan Masih LemahΒ
Pemanfaatan PLTS atap di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Hingga Juli 2023, jumlah pelanggan PLTS atap tercatat sebanyak 7.472 rumah, naik dari 5.926 pelanggan pada bulan yang sama di tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan tumbuhnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan energi terbarukan, khususnya tenaga surya.
Melansir Katadata, pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTS atap sebesar 2.145 MW sepanjang 2021β2030. Sayangnya, realisasi penggunaannya masih jauh dari harapan.
Padahal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerangkan bahwa potensi PLTS atap yang masih bisa dikembangkan di Indonesia mencapai 32,5 gigawatt (GW). Sektor rumah tangga mengambil potensi paling banyak, yakni sebesar 19,8 GW, lalu diikuti sektor bisnis 5,9 GW, sektor industri 1,9 GW, dan sektor pemerintah sebesar 0,3 GW.Β
Meski menunjukkan tren positif, pelaksanaan kebijakan panel surya atap dinilai belum maksimal. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum, menetapkan sistem kuota pemasangan PLTS atap berdasarkan wilayah usaha. Kuota ini ditentukan oleh pemegang izin penyediaan tenaga listrik, termasuk PLN, dan berlaku selama lima tahun.
Menurut Beyrra, kuota PLTS atap belum tersampaikan secara transparan ke publikβtidak jelas berapa sisa kuotanya, cara pengajuan, atau alasan pembatasannya. Ini membuat masyarakat kesulitan berpartisipasi. Ia juga menilai regulasi yang ada justru semakin melemahkan dukungan terhadap PLTS atap.
Salah satu perubahan besar adalah hilangnya skema ekspor-impor listrik, yang dulu memberi insentif bagi pengguna lewat pengurangan tagihan. Kini, penentuan kuota berdasarkan KEN dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), bukan lagi terbatas pada kapasitas jaringan. Sementara, target energi terbarukan yang menurun juga memperkecil peluang pengembangan PLTS atap.
Lebih dari Sekadar Pasokan Listrik
Beyrra menegaskan, PLTS atap bukan semata soal pasokan listrik, melainkan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam transisi energi. Namun, justru inisiatif itu dibatasi tanpa alasan yang jelas. Ia menyoroti bahwa pendekatan kebijakan pemerintah terlalu fokus pada aspek ekonomi dan finansial, dengan mengabaikan dimensi keadilan iklim.
βKetika kita bicara transisi energi, yang kita dorong seharusnya adalah keadilan iklim. Ini hak semua orang untuk hidup di lingkungan yang layak,β katanya.
Menurutnya, regulasi yang ada belum mampu menjawab krisis lingkungan dan justru memperburuk ketahanan sosial, karena minimnya dukungan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif.
Meskipun regulasi mengenai PLTS atap semakin lengkap, implementasinya juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Tanpa transparansi, kepastian, dan keberpihakan terhadap masyarakat, transisi energi yang adil dan inklusif akan sulit terwujud.

Sugiyanto sedang menunjukkan baterai yang digunakan untuk menyimpan energi dari PLTS atap di Masjid KH Ahmad Dahlan. Foto: Dini Jembar Wardani
Alihkan Subsidi ke Energi TerbarukanΒ
Dari segala cerita oleh Sugiyanto, sebagai ketua takmir dan operator PLTS di Masjid KH Ahmad Dahlan, memberi cerminan bahwa penggunaan PLTS ini masih terdapat tantangan teknis di lapangan. Salah satu kendalanya adalah soal pergantian baterai yang harus dilakukan sekitar lima tahun sekali. Biaya baterai tersebut juga tidak sedikit.Β
Walaupun jangka waktunya cukup panjang, biaya ini tetap menjadi pertimbangan besar dalam menggunakan PLTS secara berkelanjutan. Khususnya, untuk tempat ibadah dan komunitas masyarakat.
Kondisi ini menunjukkan perlunya peran aktif pemerintah dalam mendukung masyarakat yang sudah beralih ke energi terbarukan. Dukungan tersebut dapat berupa insentif atau subsidi, khususnya untuk komponen penting seperti baterai penyimpanan energi.
Beyrra menyoroti bahwa alih-alih mendukung energi terbarukan, pemerintah masih memberi subsidi besar pada batu bara lewat skema Domestic Market Obligation (DMO) sehingga harganya tetap murah untuk PLN.Β
Ia menyarankan agar sebagian subsidi ini dialihkan ke energi surya. Misalnya, untuk sistem penyimpanan energinya, agar transisi energi berjalan lebih cepat. Dukungan ini juga bisa meringankan biaya pemasangan PLTS bagi masyarakat. Menurutnya, kebijakan yang adil dan pro-rakyat penting agar energi bersih bisa diakses semua kalangan, bukan hanya yang mampu.
Menanti Keadilan EnergiΒ
Pelbagai persoalan terkait kebijakan energi terbarukan dan penerapan panel surya atap, mencerminkan bahwa negara belum sepenuhnya hadir untuk mendorong transisi energi secara menyeluruh. Khususnya, upaya transisi energi yang dilakukan oleh masyarakat di tingkat komunitas.
Masjid KH Ahmad Dahlan di Malang menjadi contoh bahwa komunitas bisa konsisten menggunakan panel surya sebagai energi bersih. Inisiatif ini bagaikan angin segar yang menginspirasi untuk masjid lainnya dan layak diapresiasi. Namun, realitasnya, kebijakan yang ada justru membatasi dan menyulitkan upaya serupa.Β
Dari pembatasan kuota, minimnya transparansi, hingga tidak adanya subsidi yang menyasar kebutuhan seperti baterai, menunjukkan lemahnya dukungan negara terhadap aksi-aksi energi bersih di akar rumput.
Padahal, potensi energi surya di Indonesia sangat besar. Ini adalah peluang emas yang seharusnya bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dan masjid-masjid di Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi soal regulasi yang terus berubah dan belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Negara sudah semestinya hadir membuka jalan untuk solusi ini dengan menciptakan kebijakan yang berpihak, transparan, dan mendukung partisipasi rakyat secara nyata. Dengan demikian, keadilan energi itu bukan lagi harapan semata, tapi bisa kita gelorakan bersama-sama.
Penulis: Dini Jembar WardaniΒ
Editor: Indiana Malia
Tulisan ini merupakan edisi perdana dari serial liputan βMerekam Jejak Energi Bersih dari Masjid ke Masjidβ.Β