Indonesia “Banjir” Sampah Makanan

Reading time: 2 menit
Sampah makanan masih menjadi persoalan di Indonesia. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Sampah yang ada di Indonesia, tidak hanya sampah plastik. Sampah makanan (food waste) masih menjadi persoalan serius yang belum mendapat banyak perhatian daripada sampah lainnya seperti plastik. 

Berdasarkan penelitian Bappenas (2021), sebanyak 23 – 48 juta ton sampah di Indonesia terbuang setiap tahun atau setara dengan 115-184 kilogram perkapita per tahun. Sejumlah kota besar juga memproduksi lebih banyak sampah makanan daripada sampah jenis lainnya.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2021 Provinsi DKI Jakarta menghasilkan sekitar 3,08 juta ton timbulan sampah. Dari jumlah tersebut, jenis sampah terbanyak adalah sisa makanan dengan proporsinya mencapai 27,8 %, terbanyak dibanding jenis sampah lainnya.

Di TPA Benowo, Surabaya sisa makanan bahkan mendominasi sebesar 54,31 % daripada sampah jenis plastik di urutan kedua. Padahal sampah yang terbuang ini setara dengan makanan untuk 61 – 125 juta orang per tahun.

Kerugian dari Sampah Makanan Capai Rp 551 Triliun 

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam menyatakan, kerugian ekonomi selama 20 tahun terakhir akibat sampah makanan ini setara dengan 4-5 persen dari PDB, yaitu Rp 213 triliun – Rp 551 triliun per tahun.

Ironisnya saat ini begitu banyak pangan terbuang begitu saja. Padahal, kandungan makanan yang terbuang ini perkiraanya setara dengan porsi makan 61-125 juta orang per tahun. Tak hanya itu, sampah jenis ini juga berkontribusi signifikan memicu emisi gas rumah kaca (GRK).

Bappenas menyebut, timbulan sampah jenis ini menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1.702,9 megaton karbon dioksida atau setara dengan 7,29 % rata-rata emisi GRK Indonesia per tahun.

Berdasarkan laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) 2021, sektor limbah menyumbang emisi gas rumah kaca nasional sebesar 12 % atau setara 126.797 Gg CO2e.

Indonesia berkomitmen menetapkan target untuk pengurangan sampah sebesar 30 % dan penanganan sampah sebesar 70 % dari total timbulan sampah pada tahun 2025. Teranyar, melalui net zero net emission, Indonesia berkomitmen nol emisi dari sektor sampah maksimal pada tahun 2060.

Namun sayangnya Medrilzam menyebut bahwa saat ini Indonesia masih belum mempunyai target spesifik sampah dari makanan ini. “Masih banyak PR dari sektor food loss waste (FLW) yang belum terselesaikan,” ungkapnya.

Pemilahan sampah menjadi cara baik untuk mengurangi timbulan sampah ke TPA. Foto: Freepik

Pentingnya Pemilahan Sampah 

Pendiri Komunitas Nol Sampah Hermawan Some mengatakan, emisi gas rumah kaca 25 kali lipat lebih berbahaya daripada karbon dioksida. Sebab, efeknya akan dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

“Permasalahan sampah makanan ini belum benar-benar menjadi perhatian pemerintah. Padahal masalah ini harusnya bisa ditekan dari level rumah tangga atau permukiman,” katanya kepada Greeners, Kamis (23/2).

Lelaki yang akrab disapa Wawan Some itu mengungkapkan, sebetulnya permasalahan sampah sisa makanan lebih mudah kita tekan karena sampahnya termasuk dalam kategori gampang terurai.

Beberapa alternatif solusi pengolahan sampah sisa makanan yaitu seperti black soldier fly (BSF) atau maggot hingga pengomposan. “Langkah ini harus lebih masif dilakukan dan secara konsisten dengan dorongan pemda setiap wilayah,” imbuhnya.

Wawan juga menyebut pentingnya pemilahan sampah, minimal sampah organik dan anorganik yang tuntas di rumah tangga. “Permasalahannya ketika kedua sampah ini bercampur maka akan mengancam kehidupan manusia seperti menghasilkan cairan leachate yang berbahaya,” tuturnya.

Cairan ini berdampak signifikan terhadap lingkungan, bisa mengurangi kualitas tanah dan air di sekitar sampah.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top