Kasus Daniel Frits Tanda Minimnya Perlindungan Pembela HAM

Reading time: 3 menit
Penahanan Daniel Frits merupakan tanda minimnya perlindungan pembela HAM. Foto: Walhi Jateng
Penahanan Daniel Frits merupakan tanda minimnya perlindungan pembela HAM. Foto: Walhi Jateng

Jakarta (Greeners) – Aktivis lingkungan Daniel Frits Tangkilisan yang menyuarakan kerusakan lingkungan akibat tambak udang ilegal di Karimunjawa dituntut 10 bulan penjara oleh jaksa. Penuntutan ini dinilai menunjukkan perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia (HAM), dalam kasus ini pejuang lingkungan, masih sangat minim.

“Padahal, pembela HAM selalu berada pada garis terdepan atas represi dan penganiayaan terhadap aktivitasnya dalam memperjuangkan hak,” ujar Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Rezaldy di Konferensi Pers Virtual, Kamis (21/3).

Andi menambahkan, pihaknya telah mencatat terdapat 25 kasus kriminalisasi oleh pembela HAM. Artinya, ada peran dari aparat penegak hukum yang membatasi ruang gerak pembela HAM untuk mengadvokasi lingkungan dan advokasi HAM.

BACA JUGA: RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Harus Jadi Prioritas

“Kami menilai ini adalah persoalan yang serius. Salah satunya yang Daniel alami, yakni mengkritik keadaan atau kondisi di Taman Nasional Karimunjawa,” tambah Andi.

Sementara itu, Koalisi Nasional Save Karimunjawa juga menilai tuntutan jaksa merupakan bagian dari malicious prosecution. Sebab, tuntutan ini tidak berdasarkan pada hasil pembuktian hingga pengabaian terhadap fakta-fakta yang muncul di dalam persidangan. Bahkan, koalisi menilai tuntutan jaksa hanya akan melanggengkan praktik bisnis yang merusak lingkungan dan tidak berperspektif hak asasi manusia.

Penahanan Daniel Frits merupakan tanda minimnya perlindungan pembela HAM. Foto: Greenpeace Indonesia

Penahanan Daniel Frits merupakan tanda minimnya perlindungan pembela HAM. Foto: Greenpeace Indonesia

Narasi Hanya Berbasis Asumsi Semata

Menurut Koalisi, tuntutan terhadap Daniel begitu mengada-ada karena banyak fakta dan dalil yang serampangan. Jaksa pun terus memaksakan narasi yang berbasiskan asumsi semata.

“Bahkan, ahli yang hadir dari JPU maupun dari penasihat hukum semua menguatkan bahwa tidak ada pelanggaran UU ITE dalam perkara ini. Selain itu, terdapat banyak kejanggalan dalam proses persidangan Daniel. Salah satunya persidangan maraton oleh majelis hakim,” ungkap Penasihan Hukum Daniel, Gita Paulina.

BACA JUGA: Aktivis Lingkungan Perempuan: Pemimpin Pergerakan dari Penjuru Dunia

Koalisi menilai, jaksa penuntut umum (JPU) tidak bisa membuktikan adanya unsur mengajak, mempengaruhi, menggerakkan, maupun mengadu domba yang Daniel lakukan. Padahal, unsur-unsur tersebut harus terpenuhi berdasarkan SKB Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Menurut Koalisi, JPU secara nyata telah mengabaikan pedoman ini.

Kritikan Daniel Bukan Ujaran Kebencian

Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum mengatakan bahwa apa yang Daniel lakukan bukan upaya untuk menghasut ataupun mengujarkan kebencian yang membuat seseorang atau sebagian kelompok jadi celaka.

“Itu adalah bagian dari ekspresi yang sah yang seharusnya mendapat perlindungan,” kata Nenden.

Adapun konstruksi analisis yang terbangun sangat keliru karena berdasarkan pada fakta-fakta yang salah, subjektif, sangat tendensius, dan menggiring pada isu SARA. Hal itu mengesampingkan masalah utama yang terjadi di masyarakat Karimunjawa, yakni kerusakan lingkungan hidup akibat tambak udang.

Secara tegas, warga Karimunjawa yang sekaligus bagian dari Lingkar Juang Karimunjawa, Yarhan Ambon menyatakan JPU seolah membelokkan ini ke arah SARA. Bahkan, JPU meninggalkan substansinya terkait masalah tambak udang ilegal.

“Padahal, warga yang terdampak nyata adanya. Nelayan harus semakin dalam bila ingin mencari ikan karena pencemaran akibat tambak udang,” ujar Yarhan.

Sementara itu, Daniel didakwa melanggar Pasal 45A Ayat 2 junto Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.

Laporan terhadap Daniel adalah buntut dari komentarnya terkait tambak udang ilegal di Karimunjawa yang mencemari daerah pesisir. Bahkan, tambak tersebut juga merusak lingkungan laut Taman Nasional Karimunjawa. Kritikan itu Daniel sampaikan lewat akun media sosial Facebook pada 12 November 2022. Komentar tersebut kemudian dilaporkan ke Polres Jepara pada 8 Februari 2023.

Lewat videonya di Instagram Greenpeace Indonesia, Daniel berpesan agar alam Karimunjawa bebas dari tambak udang intensif ilegal. Ia berharap pemulihan terhadap alam Karimunjawa dapat segera dilakukan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top