Ecoton : Udara Lima Wilayah di Jawa Timur Mengandung Mikroplastik

Reading time: 3 menit
Pembakaran sampah plastik, popok bayi dan baju memicu terlepasnya mikroplastik ke udara. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pengelolaan sampah plastik yang keliru tak hanya menyumbang penumpukan sampah dan merusak bumi. Remahan mikroplastik yang ditemukan di udara menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Hal ini dampak dari cara pengelolaan sampah yang salah.

Temuan ini terlihat dari penelitian Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) yang mereka lakukan di lima kabupaten/kota di Jawa Timur.

Direktur Ecoton Prigi Arisandi menyatakan, mikroplastik telah menjadi tantangan global termasuk juga di Indonesia. Ini terlihat dari peningkatan jumlah sampah plastik seiring ketidaktepatan dalam pengelolaannya.

Salah satu sumber pencemaran mikroplastik yakni berasal dari pengolahan sampah plastik melalui pembakaran di insinerator, tungku terbuka hingga lahan terbuka. Selain itu, sumber lain yaitu kontribusi asap industri recycle atau daur ulang plastik dan baju berbahan serat sintetis.

“Manusia berpotensi menelan 5 gram mikroplastik setiap minggunya. Salah satu jalur masuk mikroplastik ke tubuh manusia adalah melalui udara,” kata Prigi dalam keterangannya, Selasa (19/4).

Lebih parahnya, daur hidup mikroplastik di udara yang berasal dari sumber-sumbernya akan masuk dan terus tetap dalam siklus hidrologi. “Bahkan bisa memindahkan mikroplastik melalui awan sehingga diturunkan lewat hujan ke wilayah yang belum terjamah oleh aktivitas manusia sekalipun,” imbuhnya.

Ecoton Riset Lima Wilayah Bermikroplastik 

Mikroplastik merupakan partikel plastik yang berukuran 100 nanometer hingga lima milimeter. Berdasarkan riset Ecoton pada Juli hingga September 2021 temuan mikroplastik di udara mereka temukan di lima kabupaten/kota.

Wilayah tersebut yakni Surabaya, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo dan Jombang. Rata-rata kandungan mikroplastik di Surabaya sebanyak 13,86 partikel/2 jam, Gresik 26,21 partikel/2 jam, Mojokerto 11,45 partikel/2 jam, Sidoarjo 218 partikel/2 jam dan Jombang 16 partikel/2 jam.

Sementara rata-rata mikroplastik yang terkandung di tempat publik yaitu sebanyak 14,04 partikel/2 jam, insinerator 10,5 partikel/2 jam, industri 225,33 partikel/2 jam, tungku terbuka 12,5 partikel/2 jam dan pembakaran terbuka 30 partikel/2 jam. Jenis mikroplastik yang Ecoton dapatkan ada 3 jenis yakni 76 % fiber, 17 % filamen dan 7 % fragmen.

“Fiber merupakan jenis paling dominan yang ditemukan dalam sampel-sampel ini. Jenis ini biasanya berasal dari serat baju, pembakaran sampah medis oleh insinerator maupun tungku pembakaran atau bisa juga dari pembakaran sampah kain, popok dan pembalut.” ungkap peneliti Ecoton Eka Chlara Budiarti.

Mikroplastik yang tersebar di udara dapat terhirup dan masuk ke sistem pernafasan seperti yang telah baru-baru ini terungkap. Mikroplastik teridentifikasi di 11 paru-paru manusia sebanyak 39 partikel. Selain mikroplastik, zat-zat yang terkandung di dalamnya akan terlepas ke lingkungan.

Zat- zat tersebut dapat berpotensi berpindah ke tubuh manusia juga dan berefek ke kesehatan. Misalnya kandungan BPA dan Phthalate yang berpotensi memicu kanker payudara, pubertas dini, diabetes, obesitas dan gangguan autisme. Selanjutnya, senyawa pengganggu hormon memicu gangguan kehamilan, gangguan tiroid, berat lahir kurang, asma dan kanker prostat.

Kurangi Penggunaaan Plastik Sekali Pakai

Guna mengurangi kontaminasi mikroplastik di udara, Ecoton mendesak pemerintah menerapkan kebijakan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai di wilayahnya. Pemerintah harus mengawasi industri pencemar mikroplastik dan tidak memperbanyak false solution technology seperti tungku terbuka di TPS dan insinerator dengan memperbanyak TPS3R.

Selanjutnya, untuk industri harapannya mengurangi produksi berbahan plastik. Lalu menggunakan filter membran pada corong asap untuk mengurangi kontaminasi partikel. Selain itu, masyarakat harus mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Lalu lebih bijak memilih bahan yang ramah lingkungan seperti baju yang tidak berbahan serat sintetis, serta tak membakar sampah plastik.

Ancaman Mikroplastik akan Mengganggu Sistem Organ Tubuh

Peneliti Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova mengatakan, mikroplastik tak hanya dapat riset temukan di air, tapi juga di udara. Ini terlihat dari hasil penelitiannya di pesisir Jakarta Utara. Ancaman mikroplastik akan mengganggu dan melukai sistem organ tubuh. Misalnya melalui makanan, saluran pencernaan dan pernafasan.

“Karena ukurannya sangat kecil maka akan memungkinkan masuk ke dalam aliran saluran darah. Akibatnya tubuh yang seharusnya membawa nutrisi malah membawa plastik yang ukurannya kecil. Tentu pasokan nutrisi akan terganggu juga,” paparnya.

Plastik, sambung dia memiliki sifat unik karena adanya bahan tambahan (aditif) dan bisa menjadi media pembawa polutan lain. Bahan aditif dan polutan bisa lepas setelah masuk ke dalam tubuh. Jadi secara tak langsung plastik yang masuk ini pembawa polutan tambahan.

Pemerintah Bakal Siapkan Penelitian

Sementara itu, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Dirjen PPKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Luckmi Purwandari menyebut, ada sejumlah langkah penting untuk mengendalikan mikroplastik.

Langkah tersebut yaitu dengan mendorong masyarakat dan produsen memanfaatkan sampah plastik melalui reuse dan recycle. Dengan begitu, sampah plastik tak terbuang ke lingkungan. Masyarakat juga harus melakukan substitusi untuk mengganti barang plastik dengan yang lebih ramah lingkungan.

Mikroplastik lanjutnya, memang belum masuk dalam parameter pencemaran udara. Akan tetapi, Luckmi menyebut, dilihat dari jenisnya, yakni partikulat masuk ke dalam baku mutu udara. Misalnya partikulat meter ukuran 2,5 mikrometer dan PM10 partikulat 10 mikrometer dan partikulat debu kurang dari 100 mikrometer.

“Itu artinya bisa ditangkap bila ukurannya kurang dari 10 mikrometer atau kurang dari 2,4 mikrometer dan kurang dari 100 mikrometer,” paparnya.

Ia juga memastikan guna menangani mikroplastik yang telah mencemari udara, KLHK akan melakukan kajian dan membahas bersama peneliti-peneliti terkait. “Akan kita lakukan pembahasan lebih jauh karena ini hal baru,” ujar dia.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top