Kualitas Air di Jakarta Dipertanyakan, Kandungan E-Coli Melebihi Ambang Batas

Reading time: 3 menit
kualitas air
Penampungan air limbah. Foto: wikiemdia commons

Jakarta (Greeners) – Air merupakan hak dasar bagi masyarakat Indonesia dan hak ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3), “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.” Dengan demikian negara berkewajiban untuk memberikan hak asasi atas air secara maksimal. Masalahnya, air tanah telah digunakan secara berlebihan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tanpa mempertimbangkan kelestarian sumber air dan kualitas air.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) proporsi populasi di seluruh Indonesia yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan pada tahun 2017 sebesar 80,82% untuk daerah perkotaan dan 62,10% untuk perdesaan. Sedangkan jika dikerucutkan pada wilayah DKI Jakarta, layanan sumber air minum layak sebesar 92,44% pada tahun 2016. Namun pada 2017, proporsi rumah tangga yang memiliki akses menurun menjadi 88,93%.

Menurut Direktur Eksekutif Asia Pacific Centre For Ecohydrology, Ignasius Sutapa, data tersebut perlu dilihat lebih detail karena belum tentu angka yang tinggi ini memiliki kualitas air yang baik. Kualitas air layak konsumsi ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 490 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Pada pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa air minum aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan.

“Berdasarkan penelitian, hampir sebagian besar sumur dangkal di Jakarta sudah tercemar E-coli (Escherichia coli) yang ada di feses manusia dan itu sudah sangat tinggi kadarnya. Jadi sebenarnya air di Jakarta sudah tidak layak digunakan atau dikonsumsi karena bisa berdampak pada kesehatan jangka pendek, menengah, dan panjang. Menurut Permenkes tersebut parameter wajib, yakni parameter mikrobiologis, kadar E-coli di air seharusnya nol,” kata Ignasius kepada Greeners saat ditemui pada Kamis (14/03/2019) lalu di kantornya, Asia Pacific Centre For Ecohydrology, Bogor.

BACA JUGA: LIPI: Ekohidrologi, Solusi Ketersedian Air Bersih Berkelanjutan di Indonesia 

Data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjukkan dari 267 sampel air tanah di Jakarta yang diambil pada periode 22 Maret sampai 25 Mei 2018, sebanyak 64,6% air tanah tercemar detergen dengan kandungan detergen 0.15 sampai 0,98 mg/l. Menurut Permenkes No. 32/2017, ambang batas kandungan detergen dalam air untuk keperluan higienis sanitasi yaitu 0,05 mg/l. Sementara, 40% sampel menunjukkan kandungan bakteri E-Coli pada air tanah di Jakarta lebih besar dari 1.000 CFU (Colony Forming Unit) per 100 ml padahal standar baku mutunya adalah > 1 CFU/100ml.

Ignasius mengatakan penyebab dari tingginya E-coli ini karena sumber air tanah berdekatan dengan tempat penampungan tinja (septic tank) karena keterbatasan lahan. Padahal, air tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan sehari-hari seperti mandi, memasak, mencuci, hingga air minum.

Layanan Air Bersih Belum Merata

Saat ini layanan air bersih di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu layanan air bersih melalui jalur perpipaan yang dilayani di antaranya oleh PDAM, PALYJA, dan PT Aetra. Sedangkan non perpipaan seperti sumur bor, sumur gali, sumur pompa tangan, sumur dalam, dan penampungan air hujan.

“Di Jakarta, setahu saya tingkat pelayanan air bersih di Jakarta melalui jalur perpipaan masih relatif rendah. Hal itu yang harusnya diupayakan oleh pemerintah namun PDAM atau PALYJA sebagai penyedia air bersih atau air layak dari sisi kualitas dan kuantitas mengalami kesulitan mendapatkan air baku dari sungai-sungai yang ada di Jakarta karena sudah tercemar berat,” ujar Ignasius.

BACA JUGA: Polemik Swastanisasi Air di Jakarta, Publik Diminta Pegang Kendali Pengelolaan 

Anggota Tim Tata Kelola Air DKI Jakarta Nila Ardhanie mengatakan bahwa pihak swasta mengklaim layanan air bersih yang bisa disalurkan ke masyarakat DKI Jakarta sebesar 62%. Jumlah tersebut berbeda dengan temuan Amertha Institute yang menemukan bahwa cakupan layanan air bersih di Jakarta hanya 35% dan dari angka tersebut hanya 8% yang dialirkan kepada pelanggan berpenghasilan rendah.

“Kegagalan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong warga menyedot air tanah. Mengatasi permasalahan tersebut tim kami memberikan tiga opsi kepada Gubernur. Pertama, terminasi (pemutusan) kontrak menggunakan dasar hukum pasal yang tersedia dalam perjanjian kerjasama. Kedua, pembelian saham dan ketiga adalah pengambilalihan sebagian pengelolaan air Jakarta hingga kontrak dengan swasta berakhir di tahun 2023,” kata Nila.

Senada dengan Nila, Bahrun, salah seorang warga Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, mengatakan bahwa ada diskriminasi dari pihak Perusahaan Air Minum (PAM) dalam layanan air bersih di wilayahnya. Ia menyatakan bahwa warga sudah mengajukan permohonan pemasangan pipa air bersih ke pihak PAM berulang kali, namun hingga saat ini tidak ada tindak lanjut dari Palyja atau penyedia jasa air bersih lainnya.

“Kami tinggal di Kampung Muka ini sudah ada dari 40-60 tahun berstatus legal, tapi untuk akses air ini kami seperti dimarjinalkan. Di kompleks elit RW 10-11 air pamnya lancar, berbeda dengan 5 RW lainnya yang airnya mengalir jam 3-4 subuh, itu pun debit airnya kecil. Kami sudah melakukan segala cara tapi prosesnya hanya berhenti pada dimintai KTP dan KK. Akibatnya kami harus membeli air dengan harga Rp6.000 per pikul (kapasitas 1 jerigen besar),” kata Bahrun.

Penulis: Dewi Purningsih

Top