Jakarta (Greeners) – Longsor di kawasan tambang ilegal Nagari Sungai Abu, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, menewaskan 12 orang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat menegaskan bahwa peristiwa ini bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana ekologis. Hal itu mencerminkan ketidakadilan serta kelalaian pemerintah dan penegak hukum dalam pengelolaan sumber daya alam.
Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Sabtu (28/9), dua orang masih dalam pencarian dan 11 orang selamat. Masyarakat kecil dan lingkungan telah menjadi korban, terutama saat longsor terjadi akibat hujan deras dan struktur tanah yang labil.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatra Barat, Wengki Purwanto, menyoroti kegagalan penegakan hukum dalam mengatasi tambang ilegal di Sumatra Barat, khususnya di Kecamatan Hiliran Gumanti. Masyarakat setempat telah melaporkan aktivitas penambangan ilegal tersebut di Nagari Sungai Abu ke Polda Sumatra Barat sejak 2015, tetapi aktivitas tersebut tetap berlangsung. Penggunaan alat berat dalam tambang ilegal ini akhirnya menyebabkan masyarakat kecil menjadi korban.
BACA JUGA: Penegakan Hukum Satu-satunya Jalan Keluar Atasi Tambang Ilegal
Informasi yang dihimpun Walhi Sumatra Barat menunjukkan bahwa aktivitas itu sudah berlangsung lama dan terus berlanjut. Masyarakat telah berupaya mendesak Polda Sumbar untuk mengusut kejahatan lingkungan ini sejak 2015-2016. Namun, faktanya, aktivitas tersebut terus berlanjut. Sementara, pelaku utama dan penikmat keuntungan besar tetap tidak tersentuh, sehingga masyarakat kecil terus menanggung risiko.
“Fakta lapangan, aktivitas terus berlangsung dan alat berat tetap bekerja. Akhirnya, masyarakat kecil menjadi korban, sementara pelaku utama dan penikmat untung besar, tetap beruntung,” ujar Wengki.
Ia mengungkapkan bahwa masyarakat kecil sebagai pekerja di tambang ilegal terpaksa mempertaruhkan nyawa dan lingkungan demi menghidupi keluarga mereka. Pemerintah daerah telah gagal dalam membangun ekosistem ekonomi yang adil.
Hentikan Penambangan Ilegal
Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap cuaca ekstrem dan potensi bencana di kawasan rawan longsor. Ia meminta penghentian seluruh aktivitas penambangan ilegal yang berisiko terhadap keselamatan, mengingat kejadian longsor akibat tambang ilegal bukanlah yang pertama.
“Penegakan hukum harus dipertegas agar tidak terjadi lagi kejadian serupa di masa depan,” ujar Abdul.
Walhi juga meminta pemerintah dan masyarakat untuk tidak menyalahkan korban, melainkan menyoroti pengusaha dan aktor intelektual yang mendukung tambang ilegal. Mereka mendesak kapolri turun tangan untuk mengatasi kejahatan tambang ilegal di Sumatra Barat. Selain itu, masyarakat setempat harus berani mengungkapkan informasi tentang situasi yang sebenarnya.
BACA JUGA: Jatam Tuntut Negara Sibak Aktor di Balik Lubang Tambang Emas Ilegal
Pemerintah dan penegak hukum juga harus mengungkapkan pelaku utama yang mendapatkan keuntungan besar dari siklus bisnis tambang ilegal. Sebab, mereka adalah orang-0rang yang harus bertanggung jawab atas korban jiwa dan rusaknya lingkungan hidup.
Pemerintah daerah diharapkan segera membangun ekosistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat. Dengan demikian, kemiskinan dan kesulitan ekonomi tidak lagi menjadi tameng bagi pengusaha tambang ilegal yang semakin kaya di atas derita masyarakat kecil.
“Sangat tidak adil, keuntungan paling besar dari siklus tambang illegal hanya dinikmati segelintir elit. Bahkan, mereka tidak menyentuh lumpur tambang sekalipun. Ketika terjadi bencana, masyarakat kecil yang menerima dampak paling besar,” imbuh Wengki.
Walhi Sumatra Barat berharap agar ke depan tidak ada lagi masyarakat kecil yang menjadi korban akibat terpaksa mencari nafkah dari mata pencaharian ilegal. Mereka mempertaruhkan nyawa dan lingkungan mereka karena sulitnya ekonomi dan menyempitnya ruang hidup.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia