Nilai Ekonomi Karbon Dukung Proklim dan Harus Transparan

Reading time: 2 menit
Nilai ekonomi karbon harus transparan dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 21 Tahun 2022 Tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon harapannya dapat mendukung Program Kampung Iklim (Proklim).

Hal Ini menyusul komitmen dan kontribusi Indonesia dalam upaya pengendalian perubahan iklim global dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Peraturan tersebut merupakan aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Proklim merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam mengendalikan iklim global melalui peran non-party stakeholder. Komitmen ini sesuai hasil Pertemuan Para Pihak (Conference of The Parties/COP) ke 26 UNFCCC yang tertuang dalam Glasgow Climate Pact.

Dalam keterangannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengharapkan jumlah Proklim dapat meningkat pada tahun-tahun mendatang. Adapun target capaian Proklim pada 2024 yaitu 20.000.

“Mengapa harus kita tingkatkan berkali lipat lagi, karena sekarang kita telah punya Peraturan Menteri tentang Nilai Ekonomi Karbon, Peraturan Presiden juga sudah ada. Jadi Proklim secara nyata menjadi harapan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, sekaligus membuktikan bahwa ekonomi dan lingkungan bisa berjalan secara harmoni,” terang dia.

Ajak Semua Pihak Mitigasi dan Adaptasi

Senada dengan itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi menyatakan, selain nilai ekonomi karbon (NEK) menjadi salah satu instrumen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Harapannya juga menjadi mekanisme aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim lebih efektif dan efisien.

“Demikian Peraturan Nomor 21 Tahun 2022 isinya teknis mekanisme perdagangan karbon sebagai instrumen menurunkan emisi 31,89 persen pada 2030 nanti,” ucapnya.

Ia mengatakan, terdapat beberapa mekanisme nilai ekonomi karbon yang memberikan manfaat terhadap masyarakat luas. Misalnya, pembayaran berdasarkan hasil (result based payment) seperti Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation (REDD+) di sektor kehutanan.

Adapun REDD+ ini merupakan mekanisme untuk memberi insentif positif bagi negara berkembang yang mampu mengurangi emisi GRK melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.

“Jika yang diminta kompensasi pembayarannya kinerja nasional maka seluruh pihak-pihak yang berkontribusi akan mendapatkan manfaatnya. Termasuk masyarakat yang berkontribusi,” imbuhnya.

Ia menekankan pentingnya agar semua elemen masyarakat melakukan mitigasi dan adaptadi krisis iklim serta perdagangan karbon. Caranya dengan memastikan terdaftar dalam Sistem Registri Nasional (SRN).

SRN merupakan alat ukur basis data emisi karbon di Indonesia. Pengurangan karbon harus masuk pencatatan dalam dokumen kontribusi nasional yang Nationally Determined Contribution (NDC) tetapkan.

“Langkah ini penting sebab pembagian nilai manfaat dari suatu pembayaran dana bantuan internasional disesuaikan dengan kontribusi masing-masing,” ucapnya.

Sektor laut menyimpan potensi blue carbon besar untuk mempercepat target penurunan emisi. Foto: Shutterstock

Pembayaran Nilai Karbon Harus Transparan

Sementara itu Direktur Program dan Kampanye Trend Asia Ahmad Ashov Birry menyatakan, benefit sharing dan mekanisme Measurement, Reporting, and Verification (MRV) yang transparan, akuntabel dan partisipatif hal penting. Tujuannya, agar masyarakat mendapat dan memberi kontribusi serta manfaat yang optimal.

“Ketepatan sasaran seharusnya bisa diukur dari indikator manfaat sosial dan lingkungan yang diberikan,” ucapnya.

Sementara untuk menilai ketepatan maka transparansi data dan informasi adalah kunci yang tak bisa diabaikan.

“Pertanyaannya sudahkah KLHK transparan dengan data dan informasi dalam SRN. Ketepatan sasaran penerima dana adalah menjadi nilai obyektif,” pungkas dia.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top