Orientasi Ekowisata Jangan Semata-mata Uang

Reading time: 2 menit
Praktik ekowisata harus memprioritaskan kelestarian alam. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pariwisata berkelanjutan harus dapat dukungan dari hulu hingga hilir. Apalagi jika Indonesia ingin menjadi negara pertama di ASEAN yang berkomitmen net zero di sektor pariwisata. Bahkan terdongkraknya pendapatan atau uang bukan segala-gala di sektor ekowisata ini.

Ketua East Java Ecotourism Forum (Ejef) Agus Wiyono mengatakan, tanggung jawab pariwisata berkelanjutan tak bisa dilimpahkan pada pengelola pariwisata saja. Akan tetapi, berlaku untuk semua pelaku pariwisata.

“Harus banyak pihak yang memberikan edukasi atau kampanye tentang makna pariwisata berkelanjutan ini. Dari pemerintah misalnya, yang juga bisa mempengaruhi pasar atau wisatawan. Mereka perlu dicerdaskan,” katanya kepada Greeners, baru-baru ini.

Lebih jauh, Agus menilai bahwa saat ini masih banyak para pelaku pariwisata yang memilih quantity tourism daripada quality tourism. Mereka masih kerap memprioritaskan banyaknya pengunjung dan penghasilan daripada kualitas dan keberlanjutan pariwisata.

“Karena mereka juga kerap mikir uang semata, belum mikir soal keberlanjutan bisnis wisata yang sangat tergantung pada kondisi lingkungan hidup dan sosial,” ucapnya.

Penegakan Hukum Lemah di Sektor Ekowisata

Selain itu, ia juga menilai masih rendahnya penegakkan hukum kerap membuat para pelaku pariwisata ini tidak menjalankan prinsip-prinsip ekowisata. Misalnya, tidak adanya carrying capacity sehingga menyebabkan membludaknya jumlah wisatawan.

Sementara itu, aktivis lingkungan Siska Nirmala menilai pariwisata berkelanjutan atau ekowisata tak lepas dari peran serta pengunjung sebagai ‘produsen sampah’ di tempat wisata. Pada wisata pendakian, misalnya paling banyak sampah residu yang mencemari lingkungan.

Lebih parahnya lagi, sambung dia sampah dalam kondisi tercampur, kotor dan basah. Berbagai jenis sampah itu, mulai dari botol air mineral, tisu basah dan kering, sampah makanan kemasan, kantong plastik, tali rafia, baterai, hingga alat-alat P3K.

Padahal, sampah-sampah tersebut bisa ditekan melalui inisiatif pendaki untuk melakukan substitusi ke produk yang ramah lingkungan.

Misalnya, pemakaian botol jerigen pengganti air dalam kemasan air mineral, pemakaian kain lap atau sapu tangan pengganti tisu basah maupun kering, hingga pemanfaatan daun pengganti kemasan plastik. Khusus untuk baterai dan penggunaan alat P3K memang tidak bisa pendaki hindari, tapi minimal setelah pemakaian buang di tempat yang tepat.

Ia menilai, pentingnya kesadaran dan gerakan masing-masing individu untuk bertanggung jawab atas sampahnya. “Masalah sampah memang bukan hanya individu, tapi semua pelaku. Akan tetapi, itu yang paling mudah dilakukan dibanding menuntut pihak pengelola dan pemerintah yang memiliki sistem tersendiri,” paparnya.

Siska berpandangan, perilaku pendaki di gunung merupakan cerminan pola hidup kesehariannya di rumah. Menurutnya ada korelasi antara menerapkan pola hidup sehat dengan cara hidup di alam bebas.
“Apa yang saya lakukan di gunung merupakan hasil dari keseharian saya mengurangi sampah di rumah,” imbuhnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Indonesia International Outdoor Festival 2022

Top