Pemerintah Belum Tegas Berikan Sanksi pada Korporasi Pembakar Lahan

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Setiap memasuki musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius seperti kekeringan dan kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Kabut asap yang terjadi tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia.

Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, menyatakan, berdasarkan laporan dari BBC Indonesia, sejak awal September 2015, emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika. Kualitas udara yang tidak sehat ini hasil dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, Sumatera Utara 593.000 hektar dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.

TuK Indonesia, kata Norman, menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public.

Berdasarkan riset, lanjutnya, kendali pengusaha besar atas 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam kasus pembakaran lahan terbagi menjadi dua grup besar. Perusahaan ini adalah Sinar Mas dan Wilmar Group.

“Laporan ini diperkuat dari total land bank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 hektare dan Wilmar sebesar 342,850 hektare,” ujar Norman, Jakarta, Kamis (29/10).

Menurut Norman, sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan pun belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.

Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah. Norman menilai banyak masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus beroperasi dan mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.

“Di sinilah komitmen Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja, hingga saat ini, kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas,” pungkasnya.

Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK Indonesia juga mengungkapkan kalau di Indonesia sendiri tercatat ada 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini ternyata mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis.

“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan saja. Lembaga finansial khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan dan tunda IPO di bursa efek,” ujar Vera.

Penulis: Danny Kosasih

Top