Perubahan Iklim Berimbas pada Kesehatan Perempuan

Reading time: 6 menit
kesehatan perempuan

Seorang perempuan Afrika terbaring lemah karena malaria yang dideritanya. Foto: hdptcar/flickr.com

Perempuan yang jumlahnya diperkirakan sebesar 70% dari total 1,3 milyar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ketergantungan lebih besar terhadap sumber daya alam bagi penghidupan dan kehidupannya. Oleh karenanya, perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim (dikutip pada buku “Gender dalam REDD+: Buku panduan untuk fasilitator akar rumput”).

Dalam buku tersebut juga dipaparkan bahwa lebih dari 70% penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah perempuan. Oleh karena perempuan sering termarjinalkan dan sangat bergantung pada sumber daya alam, beban perempuan untuk pekerjaan rumah tangga semakin bertambah. Perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan di negara-negara berkembang menanggung beban yang tidak seimbang ketika berhadapan dengan dampak perubahan iklim. Meningkatnya beban rumah tangga menyebabkan berkurangnya waktu istirahat yang besar kemungkinan dapat berdampak pada kesehatan perempuan.

Perubahan iklim merupakan fenomena yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan kegiatan alam itu sendiri. Berdasarkan kajian Dewi Candraningrum dalam buku “Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan Iklim & Memori Rahim” (2015), menjelaskan bahwa perubahan iklim memberi pengaruh yang berbeda terhadap kesehatan reproduksi dan seksual perempuan dan laki-laki. Misalnya kekeringan, banjir, gempa, erupsi gunung akan menambah kerentanan manusia atas kekurangan gizi, kekurangan air bersih pada ujungnya akan mempengaruhi kesehatan reproduksi. Terlebih ibu hamil dan menyusui mendapatkan beban terbesarnya dari perubahan iklim.

Ada juga kajian Arianti I. R. Hunga dalam buku Ekofeminisme (2015) yang menjelaskan tentang dampak dari industri batik rumahan. Industri batik telah menjadi industri strategis dan penting dalam perekonomian Indonesia. Sayangnya, dampak modus produksi batik berbasis rumah berdampak negatif pada area rumah dan lingkungan, serta perempuan pembatik yang sehari-hari terlibat dalam produksi batik. Industri batik berkontribusi pada pemanasan global, kerusakan lingkungan akibat limbah produksi, penggunaan air yang berlebihan dan kelengkaan air, polusi air dan lain-lain.

UNDP (2011) melaporkan bahwa dalam dampak akibat dari perubahan iklim global lebih banyak terkena pada perempuan dan anak-anak. Terlebih lagi ILO (2012) melaporkan sebanyak 33,74 juta pekerja Indonesia bekerja pada pekerjaan formal dan sekitar 73,67 juta pekerja Indonesia bekerja di sektor informal, dan sebagian pekerja yang bekerja di sektor informal adalah rata-rata perempuan dengan kondisi rentan. ILO (2012) juga menambahkan bahwa dalam analisis pekerja rentan berdasarkan gender menunjukkan bahwa perempuan tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki.

Menurut kajian Arianti, dalam industri batik ada sekitar 20-30 pewarna bahan-bahan kimia yang berbeda digunakan dalam proses produksi dan merupakan bahan kimia yang tergolong B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Zat-zat kimia ini biasanya dipakai tanpa mengikuti suatu standar yang tepat akibatnya merugikan dan merusak baik para pekerja yang sebagian besar adalah perempuan maupun lingkungan hidup disekitarnya.

Risiko kesehatan yang akan dihadapi adalah terkena kanker kulit. Akibatnya, kulit tangan terus-menerus bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya. Beberapa penyakit lainnya antara lain gangguan saluran pernafasan akibat limbah benang dan polusi pembakaran minyak tanah untuk membatik, gangguan ginjal dan penyakit yang berasal dari tercampurnya limbah zat warna dengan sumur sebagai sumber air untuk minum, memasak, mencuci, dan mandi. Namun sungguh disayangkan apabila limbah pencemaran industri batik disepelekan oleh paradigma yang menganggap limbah industri batik tidak berbahaya karena volumenya yang kecil.

Menambah kajian dampak perubahan iklim lainnya terhadap kesehatan perempuan, Ahmad Badawi dari Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi dalam tulisannya di buku “Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan Iklim & Memori Rahim” (2015), menjelaskan bahwa perempuan-perempuan desa di pesisir kehilangan sumber pangan utama keluarga dan akses air bersih karena kenaikan permukaan air laut, kerusakan ekosistem biota laut, abrasi, intrusi dan kebijakan industrialisasi tidak ramah lingkungan.

Sementara itu perempuan-perempuan desa juga mengalami situasi yang sama karena gagal panen, kerusakan lahan, matinya sumber air dan industri pertambangan (kasus perempuan Kendeng). Faktor-faktor tersebut dampak mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan terkait dengan waktu dan tenaga perempuan untuk menyiapkan makanan dan air bersih. Beban ganda perempuan semakin meningkat diikuti oleh tingkat produktivitas perempuan yang menurun.

Ahmad Badawi juga memaparkan studi kasus dampak kerusakan sumber daya air terhadap kesehatan reproduksi perempuan, yaitu maraknya kasus kanker dan tumor yang diderita oleh setidaknya 47 jiwa di desa Grujugan, Kabupaten Kemranjen pada tahun 2006. Diduga penyakit ini muncul dikarenakan masyarakat setempat mengonsumsi air tanah yang tercemar limbah berat bersifat karsinogen. Ditambah lagi studi terkait mengatakan bahwa 47 jiwa pengidap kanker dan tumor ini dua per tiganya adalah perempuan di usia produktif.

(Selanjutnya…)

Top