Perut Satwa Penuh Sampah, Cermin Buruknya Pengelolaan Sampah

Reading time: 3 menit
Perut satwa penuh sampah. Foto: Ecoton
Perut satwa penuh sampah. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) – Satwa liar terus menjadi korban pencemaran sampah di air tawar. Bukan hanya ikan dan penyu yang menelan plastik, kini buaya pun mengalami hal serupa. Temuan ini menunjukkan bahwa besarnya pencemaran air tawar dan pengelolaan sampah di Indonesia belum memadai.

Pada November lalu, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, melaporkan kematian seekor buaya muara berbobot 585 kilogram dengan panjang 5,7 meter. Hasil observasi menemukan perut buaya tersebut berisi sampah plastik, serpihan elektronik, hingga benda tajam.

Berdasarkan laporan DPKP, perut buaya itu berisi 20 kantong plastik, karung goni, tutup minuman kemasan, pisau kecil lengkap dengan gagangnya, serta pecahan tabung televisi lama. Seluruh benda tersebut dalam kondisi masih utuh.

Anggota IUCN SSC Crocodile Specialist Group, Herdhanu Jayanto, menyampaikan bahwa kasus seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Banyak laporan lokal menemukan sampah di perut buaya, hanya saja jarang terdokumentasi secara publik.

Ia menjelaskan bahwa sampah dalam tubuh buaya jelas menurunkan tingkat kemampuan bertahan hidup karena mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi. Meskipun buaya memiliki toleransi tubuh yang kuat, namun sampah tetap mengurangi peluang hidupnya.

“Buaya adalah pemangsa oportunistik. Apa pun yang menyentuh mulutnya, termasuk sampah yang hanyut, bisa saja digigit dan tertelan. Sampah tentunya bukan makanan buaya. Manusialah yang menyebabkan pencemaran sehingga satwa terpapar,” kata Dhanu kepada Greeners.

Fenomena satwa menelan sampah sebelumnya banyak ditemukan pada penyu, ikan, burung, hingga paus. Namun, buaya yang hidup di sistem sungai memiliki kerentanan yang lebih tinggi karena aliran sungai membawa berbagai jenis sampah dari hulu hingga hilir.

Meski demikian, Dhanu menegaskan bahwa penyebab kematian buaya di Indragiri Hilir bukan hanya sampah. Faktor lain seperti stres, infeksi, atau luka juga dapat menjadi penyebabnya.

Ilustrasi sampah berserakan. Foto: Dini Jembar Wardani

Ilustrasi sampah berserakan. Foto: Dini Jembar Wardani

Peran Penting Buaya di Ekosistem Air Tawar

Kematian buaya di Riau menjadi peringatan bahwa pencemaran plastik kini mengancam keberadaan predator puncak di air tawar. Padahal, buaya, terutama buaya muara, memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Sebagai puncak predator saat dewasa, buaya membantu mengontrol populasi satwa lain, termasuk spesies invasif seperti ikan toman dan kura-kura Brazil, jenis yang hanya dapat dikendalikan oleh predator besar. Saat masih telur hingga remaja, buaya berfungsi sebagai mangsa bagi satwa lain. Pada fase remaja hingga menjelang dewasa, ia berperan sebagai mesopredator.

Buaya juga berperan membantu perpindahan nutrien di sungai melalui aktivitasnya dalam air, serta sebagai ecological engineer saat membuat sarang atau lubang yang mengubah struktur lingkungan. Hilangnya buaya akan mengganggu keseimbangan rantai makanan dan dinamika ekosistem di wilayah perairan.

Kebocoran Sampah Mengancam Satwa Air

Sementara itu, kematian buaya dengan perutnya berisi sampah juga menjadi perhatian bagi organisasi lingkungan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton). Mereka menilai bahwa sampah, termasuk plastik, bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga satwa liar ikut terancam.

Manajer Edukasi Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Alaika Rahmatullah, mengatakan temuan buaya muara mati dengan perut penuh sampah plastik juga menunjukkan betapa seriusnya kebocoran sampah ke sungai dan laut. Ecoton sebelumnya juga menemukan kasus serupa pada seekor hiu di bawah Jembatan Suramadu. Saat dibedah, perut hiu tersebut dipenuhi sampah plastik.

“Temuan-temuan ini adalah alarm keras bahwa pencemaran plastik sudah berada pada tahap yang mengancam kehidupan satwa,” ujar Alaika.

Ecoton juga mencatat banyak ikan di sungai yang menelan plastik serta sampah anorganik lain. Ia mencontohkan kondisi di Jawa Timur, di mana sekitar 40 persen sampah anorganik yang masuk ke sungai adalah plastik, disusul sampah rumah tangga seperti kasur, koper, hingga elektronik.

Menurut Alaika, persoalan ini bukan semata soal perilaku masyarakat, tetapi karena minimnya layanan pengelolaan sampah. Berdasarkan survei Ekspedisi Sungai Nusantara, sekitar 70 persen masyarakat di berbagai daerah belum merasa terlayani sistem persampahan. Akibatnya, sungai menjadi tempat pembuangan terakhir.

Banyak wilayah, terutama di Indonesia bagian timur, juga tidak memiliki fasilitas pengolahan sampah. Bahkan galon dan botol plastik sering tidak diambil pengepul karena sentra daur ulang hanya terkonsentrasi di Jawa Timur.

Alaika menilai pemerintah perlu memperluas pelayanan persampahan secara serius. Prioritas utamanya adalah pembangunan TPS 3R dan fasilitas pengolahan limbah, terutama di permukiman bantaran sungai. Selain itu, regulasi dan penegakan hukum harus diperkuat, misalnya dengan pemberlakuan denda bagi mereka yang membuang sampah ke sungai.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top