Jakarta (Greeners) – Belenggu aktivitas buruk manusia mendominasi kepunahan satwa dan puspa. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia tetapi juga di Indonesia. Para ahli menyakini, satwa dan puspa mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Namun jika ancaman datang dari manusia, puspa dan satwa tanpa daya hingga akhirnya punah.
Padahal setiap flora, fauna maupun mikroba di alam menjadi penentu keseimbangan ekosistem dan kehidupan manusia. Sayangnya, terkadang manfaatnya belum tergali sempurna, flora dan fauna itu telah musnah.
Setiap tahun pada 5 November, Indonesia memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Tahun ini HCPSN bertema “Keanekaragaman Puspa dan Satwa: Aset Dasar Pemulihan Ekonomi Nasional”. Tema ini mencerminkan keinginan menjadikan perlindungan dan pelestarian puspa dan satwa sebagai salah satu jalan memulihkan ekonomi nasional di masa-masa pandemi Covid-19.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Iman Hidayat mengatakan, Indonesia menjadi negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati besar (megabiodiversity).
“Tapi kita harus jujur, kita belum bisa mengoptimalkan potensi sumber daya genetik yang kaya tersebut untuk menjadi penopang utama perekonomian nasional,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Jumat (5/11).
Menurutnya, topangan perekonomian masih berbasis mineral. Padahal peluang bioprospeksi atau kemanfaatan masa depan keanekaragaman hayati sangat potensial di Indonesia. Misalnya saja daun kelor, di luar negeri sudah menghasilkan ekstraksinya untuk obat hipertensi dan diabetes. Indonesia hanya mengekspor daun kelor kering tanpa tahu manfaat masa depannya.
“Secara sumber daya manusia kita mampu sudah banyak ahli. Namun ketika masuk ke ranah kebutuhan industri, masih belum sesuai karena terkendala infrastruktur risetnya,” ucapnya.
Gali Sumber Daya Genetik Indonesia
Terkait peluang bioprospeksi Iman berharap, informasi sumber daya genetik Indonesia bisa optimal menjadi sesuatu yang bisa mendorong perekonomian. Di luar negeri, industri sudah memanfaatkan informasi genetik untuk menghasilkan suatu produk unggulan.
Sementara itu, terkait perlindungan keanekaragaman hayati, berbagai regulasi telah hadir. Hanya saja implementasi di lapangan perlu monitoring. Jangan sampai lanjutnya, kebijakan yang baik di atas bertolak belakang dengan implementasi di lapangan.
Misalnya saja, komitmen menekan deforestasi di pusat, tidak linier dengan kenyataan di lapangan. Banyak LSM penggiat lingkungan memaparkan fakta, praktik pembukaan dan pembalakan hutan masih kerap terjadi.
“Sesungguhnya, ancaman terbesar puspa dan satwa di alam adalah manusia bukan di perubahan iklim. Puspa dan satwa bisa beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun jika diburu manusia, mereka bisa lari kemana?,” tutur Iman.
Tingkatkan Kepedulian, Perlindungan dan Pelestarian
Wildlife Crime Specialist World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia di Program Sumatera Bagian Tengah Osmantri Abeng juga mengingatkan masyarakat untuk peduli satwa dan puspa di Indonesia lewat momentum HCPSN.
Menurutnya, kepedulian masyarakat terhadap satwa dan puspa saat ini sudah semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai komunitas yang peduli dengan satwa liar.
“Perhatian saat ini terhadap satwa liar dari waktu ke waktu semakin meningkat. Sudah banyak komunitas-komunitas kaum muda yang peduli kepada satwa liar. Artinya ini sesuatu yang baik dan perlu meningkat khususnya pada kaum muda,” kata Osmantri.
Ia menjelaskan keberadaan setiap satwa di alam sangat penting. Karena setiap satwa yang hidup di habitatnya memiliki peran masing-masing. Salah satunya satwa berperan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
“Seperti burung sebagai penyebar biji-bijian untuk bagaimana bisa tumbuh atau satwa predator yang menjaga keseimbangan supaya tidak terjadi ledakan populasi satwa tertentu. Jadi setiap satwa pasti memiliki peranan yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan kita,” paparnya.
Sejumlah satwa yang hidup di Indonesia terancam punah. Penyebabnya adanya eksploitasi yang berlebihan dan keseimbangan ekosistem yang terganggu sehingga membuat populasi satwa semakin berkurang.
Osman membenarkan bahwa banyak hal yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup satwa seperti perubahan iklim. Namun ia menekankan, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana meminimalisir sejumlah hal yang dapat mengancam keberadaan satwa tersebut.
Edukasi Publik Untuk Puspa dan Satwa
Sementara itu, memperingati HCPSN tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Taman Nasional Halimun Salak, menyelenggarakan Podcast Edukasi Cinta Puspa dan Satwa sekaligus Pameran Fotografi Satwa Liar di area Mall Boxies 123, Bogor, 3-5 November 2021.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno menyambut positif penyelenggaraan podcast edukasi dan pameran fotografi ini. Kegiatan seperti ini disebutnya bisa merefresh kembali ingatan masyarakat terkait flora dan fauna.
“Saya kira acara seperti ini sangat bagus, apalagi diselenggarakan di mall untuk semakin mendekati ke generasi milenial perkotaan akan isu-isu pelestarian alam khususnya satwa dan puspa,” tutur Wiratno.
Balai Taman Nasional Halimun Salak sebagai penyelenggara kegiatan, merupakan salah satu kawasan konservasi alam yang letaknya paling dekat dengan Ibu kota Jakarta. Keberadaannya melindungi hutan yang berada di sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan alam hingga ke Ibukota Jakarta.
Kondisi hutan di wilayah pengelolaan Balai Taman Nasional Halimun Salak terus dijaga melalui kerja-kerja kolaborasi bersama para mitra dan masyarakat. Kawasan hutan di sana juga menjadi sumber kehidupan banyak masyarakat adat kasepuhan Sunda, Banten juga Masyarakat Baduy.
“Kita menyelamatkan hutan di Halimun Salak ini berarti kita juga menyelamatkan masyarakat,” imbuh Wiratno.
Salah satu contohnya adalah hutan yang terjaga di Halimun Salak akan menyelamatkan macan tutul yang merupakan top predator di situ, terkait rantai makanan yang terjaga sehingga sampai mikroba pun akan terjaga.
Mikroba di Halimun Salak ternyata punya manfaat membantu pertanian masyarakat seperti untuk mempercepat pertumbuhan akar tanaman pertanian, jadi keberadaan hutan yang lestari ini banyak sekali manfaatnya. Kawasan konservasi juga bisa berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim.
Kondisi hutan konservasi yang terjaga dengan baik, akan mendorong penyerapan dan penyimpanan karbon. Panas bumi yang terdapat di dalam kawasan konservasi menjadi energi bersih yang penting dalam pengendalian perubahan iklim.
Penulis : Ari Rikin dan Fitri Annisa