Revolusi Industri 4.0 Menjadi Tantangan Kelestarian Lingkungan Hidup

Reading time: 2 menit
limbah b3 batu bara
KLHK Buka Suara tentang Perubahan Status Limbah B3 Industri Batu Bara. Foto: Pxhere.

Jakarta (Greeners) – Revolusi industri 4.0 bisa menjadi harapan dan tantangan bagi Indonesia, khususnya pada sektor kelestarian lingkungan hidup. Dijelaskan Jalal, pengamat tata kelola perusahaan dan ekologi politik dari Thamrin School of Climate Change and Sustainbility, pengertian industri 4.0 di sektor lingkungan ialah di mana semua elemen meningkatkan dan berpihak kepada daya dukung lingkungan.

“Seperti contohnya pada bidang energi. Ketika sudah berbicara tentang industri 4.0 seluruh energi yang dipakai di Indonesia harus sudah memakai energi terbarukan, karena hal ini menjadi suatu peningkatan daya dukung untuk lingkungan dengan tidak lagi mencemari. Namun, belum tentu pelaku industri bisa melakukan hal tersebut. Inilah yang menjadikan industri 4.0 suatu harapan dan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Komitmen dan ketaatan pada peraturan sesuai dengan desain revolusi industri 4.0,” ujar Jalal saat ditemui di Jakarta, Selasa (19/02/2019).

Dalam hal ini, daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup.

BACA JUGA: IESR: Prospek Energi Terbarukan Tahun 2019 Akan Lebih Suram 

Jalal menjelaskan pelaku industri pada revolusi industri 4.0 dibagi menjadi 3 tahapan, yakni redistributif, restoratif dan regeneratif. Tahap pertama, industri bersikap redistributif di mana ekonominya memberikan yang lebih membutuhkan pada level bawah dan membuat ekonomi lebih seimbang. Tahapan kedua, industri restoratif ialah industri yang sudah memperhatikan dan memperbaiki mutu lingkungan, dan pada tahap ketiga, regeneratif yaitu ekonomi yang meningkatkan daya dukung lingkungan.

“Kenapa harus seperti itu, karena jumlah orang akan semakin banyak. Kalau kita tidak restoratif yang notabene harus memperbaiki lingkungan, tidak akan cukup daya dukung untuk masyarkat. Maka itu, daya dukung dan daya tampung harus didorong terus melalui regeneratif, di mana ekonominya meningkatkan daya dukung lingkungan tersebut. Jika Indonesia sudah melalui tiga tahapan itu, bisa dikatakan revolusi industri 4.0 di sektor lingkungan aman,” ujar Jalal.

Namun, Indonesia yang saat ini tengah menggencarkan revolusi industri 4.0 belum berhasil menerapkan tiga tahapan tersebut pada pelaku industri khususnya di sektor energi. “Seharusnya, saat ini Indonesia sudah berjalan pada energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan memenuhi ketiga tahapan tersebut,” ujar Jalal.

BACA JUGA: IPA Ke-42, Jokowi Soroti Minimnya Perkembangan Sektor Migas 

Menurut data Greenpeace, pada tahun 2017 batubara mendominasi pembangkit listrik di Indonesia (58,3% total daya terpasang), diikuti oleh gas (23,2%) dan minyak bumi (6%). Potensi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil sebagai sumber listrik tampaknya masih akan terus berlanjut hingga tahun 2025. Hal ini terlihat jelas dari Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL 2018-2027, Kemen ESDM), dimana porsi batubara sebesar 54,4%.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa esensi dari revolusi industri 4.0 ialah industri yang ramah lingkungan dan sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satunya memastikan ketersediaan energi tidak lagi bergantung pada bahan bakar fosil.

“Tidak tergantung pada bahan bakar fosil kami tunjukkan dengan sudah dimulainya pencampuran bahan bakar fosil dengan energi terbarukan, seperti B20. Lalu, industri harus taat pada peraturan dengan segala macam emisi yang ditimbulkan, dan dengan perkembangan teknologi ke depan saya meyakini bahwa teknologi ke depan justru akan mengurangi emisi. Jadi rencana pembangunan rendah karbon yang berjalan sudah berjalan seimbang dengan industri 4.0,” ujar Bambang.

Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hariyanto mengatakan pencanangan industri 4.0 jelas dalam rangka mendukung rendah emisi. Industri diminta lebih efisien dalam mengelola energi terbarukan dan tidak lagi menggunakan energi dari batubara.

“Sehingga energi bisa disebut dengan energi berkeadilan sesuai dengan jargon Kementerian ESDM dalam mengarahkan industri kepada energi terbarukan ini dengan harapan masyarakat Indonesia bisa mengakses energi terbarukan dengan harga yang terjangkau,” ujar Hariyanto.

Penulis: Dewi Purningsih

Top