Revolusi Industri 4.0, KLHK Dorong Multiusaha Hasil Hutan Bukan Kayu

Reading time: 2 menit
hasil hutan bukan kayu
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong pengembangan multiusaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan sebagai salah satu tulang punggung baru perekonomian Indonesia dengan tetap melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan bahwa HHBK menjadi daya tarik bagi pembangunan ekonomi rakyat di pedesaan karena memiliki sifat padat karya dan dapat menciptakan industri kreatif rakyat. HHBK yang menjadi komoditas unggulan diantaranya getah pinus, getah karet, kemenyan, gaharu, damar, madu, rotan, sagu, dan lainnya.

BACA JUGA: Revolusi Industri 4.0 Menjadi Tantangan Kelestarian Lingkungan Hidup 

Siti menekankan bahwa HHBK pada prinsipnya dapat dimanfaatkan pada seluruh kawasan hutan, yaitu hutan lindung, hutan produksi dan kawasan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba dan zona inti pada taman nasional.

“Mari jadikan HHBK sebagai salah satu modal pembangunan nasional dan modal pembangunan wilayah provinsi. Pastikan bahwa sumber bahan baku HHBK terjamin kesediaannya baik secara kualitas, kuantitas dan kontinuitas, serta buat sentra-sentra HHBK unggulan untuk mempermudah investor dalam berinvestasi,” kata Siti dalam acara bertema “Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan Berbasis Masyarakat Menuju Revolusi Industri 4.0” di Auditorium Dr. Soedjarwo, Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta, Jumat (10/05/2019).

BACA JUGA: KKP Lakukan Penilaian Kompetensi kepada 2.550 Penyuluh Perikanan 

Siti mengatakan bahwa KLHK juga mendorong pengelolaan jasa lingkungan pada hutan produksi, khususnya wisata alam yang memiliki potensi cukup tinggi. Untuk percepatan pemanfaatannya KLHK telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.31/2016 tentang Pedoman Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi.

Sampai saat ini baru diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi (IUPJL-WA) sebanyak 7 (tujuh) unit seluas 3.530 hektare yang tersebar di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi NusaTenggara Barat.

Terkait hal ini, Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun mengatakan bahwa Kepri menjadi tempat persimpangan perdagangan jasa yang sangat padat. Berdasarkan pemantauan Vessel Traffic System (VTS), jumlah kapal yang melintasi Selat Malaka mencapai 80.000 s/d 90.000 kapal dalam setahun. Hasil studi Nasional University of Singapore tahun 2007 juga mencatat nilai barang-barang yang diangkut di Selat Malaka mencapai US$ 2.739.726.017.

Kepri juga sangat menjanjikan dalam bidang pariwisata karena akses yang mudah dan sangat strategis. Meski demikian, Nurdin menyatakan bahwa Kepri akan menjaga pengelolaan jasa lingkungan agar tetap asri dengan selektif mengeluarkan izin pemanfaatan jasa lingkungan dan alam.

“Kami mendorong jasa lingkungan ini jangan sampai merusak lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pengusaha utama,” katanya.

Penulis: Dewi Purningsih

Top