IESR: Prospek Energi Terbarukan Tahun 2019 Akan Lebih Suram

Reading time: 2 menit
energi terbarukan
Kiri ke kanan: Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, Presiden Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur Emma Sri Martini, Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT PLN Zulfikar Manggau, Senior Partner UMBRA Kirana D. Sastrawijaya, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Dr. Surya Darma dalam Indonesia Clean Energy Dialogue: Reviewing 2018, Outlooking 2019. Foto: IESR

Jakarta (Greeners) – Institute for Essential Services Reform (IESR) merilis laporan Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019. Laporan ini memperkirakan prospek energi terbarukan tahun 2019 akan lebih suram, setidaknya hingga semester pertama. Kualitas kebijakan dan kerangka peraturan di sektor energi, konsistensi dalam implementasi kebijakan, proses procurement internal PLN, akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable adalah beberapa faktor yang menghambat percepatan pengembangan energi di Indonesia.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan, laporan ini memberikan peringatan keras bahwa pemerintah tidak berada di jalur untuk mencapai 23% target energi terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional 2014 dan Rencana Energi Nasional 2017. Menurut Fabby situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang menguntungkan kepentingan PLN tetapi gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta. Akibatnya, investasi terbarukan terus menurun sejak 2015.

“Tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan di tahun 2018. Kajian IESR memperkirakan situasi di tahun 2019 juga tidak mungkin membaik. Pertama, masa pemilihan umum telah tiba dan harga menjadi salah satu isu sentral dalam kampanye. Akan sangat mungkin pemerintah berusaha untuk menjaga harga listrik tetap rendah,” ujar Fabby berdasarkan siaran pers yang diterima oleh Greeners, Rabu (19/12/2018).

BACA JUGA: Potensi Energi Terbarukan Melimpah, Pemanfaatannya Belum Maksimal 

Kedua, laporan ini menyoroti mandeknya kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir. Meskipun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan PLN mengklaim tentang PPA/Power Purchase Agreement yang tertinggi – sebanyak 70 PPA ditandatangani pada tahun 2017, tetapi setelah satu tahun sekitar setengah dari proyek pembangkit listrik tersebut masih berjuang untuk mencapai financial close dan menghadapi risiko penghentian oleh PLN pada akhir tahun ini.

Ketiga, baru-baru ini Menteri ESDM Ignatius Jonan menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga listrik hingga akhir 2019. Ini berarti bahwa pemerintah akan mempertahankan kebijakan status quo (kondisi yang ada saat ini dan sedang berjalan) untuk melindungi bunga PLN dan tarif energi terbarukan ditetapkan lebih rendah untuk mensubsidi biaya pembangkitan listrik PLN yang lebih tinggi.

“Proyek energi terbarukan seperti panas bumi, angin, matahari dan biomassa akan tetap stagnan hingga tahun depan. Pengembangan panas bumi akan terbatas pada kegiatan survei dan pra-eksplorasi untuk mengumpulkan data dan pengembangan proyek energi terbarukan akan terbatas sektor tertentu. PLTS atap (Solar PV) yang berpotensi untuk dikembangkan hingga 1 GW per tahun akan tumbuh melambat terutama untuk pelanggan kalangan rumah tangga,” ujar Fabby.

BACA JUGA: Brown to Green Report 2018: Indonesia Semakin Jauh dari Target Kesepakatan Paris 

Selain itu, mengingat kondisi politik pada tahun 2019, Fabby menyatakan sangat mungkin investor asing akan terus menunggu dan melihat hasil pemilihan dan arah kebijakan kabinet baru pada bulan Oktober 2019. “Kami mengantisipasi bahwa investasi terbarukan oleh sektor swasta akan mengalir di kuartal keempat tahun depan. Oleh karena itu, sebagian besar investasi tahun depan akan dilakukan oleh PLN dan BUMN lainnya,” katanya.

Untuk menarik minat investor, Kepala Divisi Riset IESR Pamela Simamora menyatakan Kementerian ESDM harus meningkatkan kualitas kebijakan dan kerangka regulasi untuk mendukung investasi energi terbarukan.

“Ini berarti dibutuhkan upaya perbaikan yang menyeluruh terhadap Peraturan Menteri ESDM No. 48/2017, 50/2017, 10/2017 jo 49/2017 serta kejelasan mengenai sistem pararel dalam Peraturan ESDM Nomor 1/2017 untuk menghilangkan hambatan dalam investasi, pengelolaan risiko yang lebih baik, dan meningkatkan kepercayaan investor,” ujar Pamela.

Oleh karena itu, IESR mendesak pemerintah untuk membentuk Dana Energi Bersih Indonesia untuk mendukung pembiayaan energi terbarukan untuk skala kecil, terutama proyek di bawah skala 10 MW. Insentif fiskal perlu disiapakan untuk meningkatkan keekonomian proyek energi terbarukan. Dengan rekomendasi ini, diharapkan pengembangan energi bersih akan mendapatkan daya dorong yang lebih kuat selama berlangsungnya tahun politik dan di masa depan.

Penulis: Dewi Purningsih

Top