Riset Gender dan Perubahan Iklim: Perempuan Lebih Peduli Terhadap Lingkungan

Reading time: 2 menit
Riset Gender dan Perubahan Iklim
Riset Gender dan Perubahan Iklim: Perempuan Lebih Peduli Terhadap Lingkungan. Foto: Shutterstock.

Krisis iklim dan gangguan lingkungan merupakan masalah bagi setiap negara. Konservasi sebagai upaya pemeliharan dan perlindungan sumber daya alam bisa jadi salah satu solusi agar lingkungan dapat bertahan untuk generasi mendatang. Sebagai masalah global, penyelesaian masalah lingkungan melalui konservasi perlu kerja sama lintas sektor dan lintas negara. Tujuan konservasi tidak terpaku pada satu jenis gender saja.

Jakarta (Greeners) – Manajer Climate Reality Indonesia, Amanda Katili-Niode, mengatakan semua gender memegang peranan penting dalam konservasi. Amanda mengemukakan temuan menarik dari riset Yale Program on Climate Change Communication. Riset tersebut menunjukan ada kesenjangan gender yang meski kecil, tapi konsisten dalam pandangan lingkungan dan opini perubahan iklim.

“Rata-rata perempuan lebih peduli terhadap lingkungan dibanding laki-laki. Rata-rata perempuan memiliki opini dan keyakinan pro iklim yang lebih kuat,” ujar Amanda dalam webinar “Perempuan dan Konservasi”, di Jakarta, Selasa, (22/12/2020).

‘Kadang Kala Ada Anggapan Remeh Terhadap Perempuan’

Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, Murlan Dameria Pane, menjelaskan perempuan bisa mengisi berbagai peran dalam konservasi seperti penyuluh, pelestari budaya dan alam, penyelamat lingkungan, dan pilar keluarga dan negara.

Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam menjaga lingkungan tidak selalu harus mengisi posisi strategis. Perempuan, lanjut dia, bisa melakukan hal-hal kecil dengan tetap menjadi diri sendiri dalam membuat hal-hal bermanfaat bagi alam.

Di sisi lain, berbagai tantangan juga membayangi perempuan dalam kegiatan konservasi. Salah satu yang paling sering terjadi adalah anggapan kurang tepat bahwa perempuan tidak bisa mengemban tantangan fisik.

Pasalnya, kegiatan konservasi menuntut peninjauan lapangan untuk mengetahui kondisi, masalah, dan solusi atas fenomena yang terjadi.

“Kadang kala ada anggapan remeh terhadap perempuan. Tidak mungkin bisa berada di lapangan. Soal fisik ini biasanya kita dianggap paling lemah,” jelasnya.

Riset Gender dan Perubahan Iklim

Salah satu yang paling sering terjadi adalah anggapan kurang tepat bahwa perempuan tidak bisa mengemban tantangan fisik. Foto: Shutterstock.

Baca juga: Indonesian Aroid Society: Indonesia Harus Jadi Basis Tanaman Hias Dunia

Perempuan Tegas dan Berani Lawan Penebang Liar

Tantangan fisik juga pernah terjadi pada Siti Maimunah. Pegiat Lingkungan yang meraih Penghargaan Kalpataru 2019 ini juga sempat dipandang sebelah mata ketika menjalani aktivitasnya menjaga lingkungan dan reboisasi. Orang-orang, bahkan tim penilai Kalpataru sendiri, tidak menyangka jika Siti bisa bertahan di hutan.

“Bahkan, tim penilai (Kalpataru) sempat ragu jika saya biasa masuk keluar hutan. Tapi pada akhirnya tim penilai tersebut yang malah kesulitan ketika berada di hutan,” terangnya.

Siti menilai kesabaran dan ketabahan perempuan bisa menyelesaikan masalah kerusakan hutan yang kompleks. Perempuan, lanjut dia, juga memiliki kemampuan menggaet hati masyarakat.

Menurutnya, hal tersebut penting dalam konservasi yang kerap mengalami penolakan dari masyarakat.

“Saya pernah bersitegang dengan pelaku illegal logging. Bahkan pelaku mengatakan kalau saya laki-laki, saya akan dibunuh. Pada kasus tersebut, perempuan memiliki nilai lebih. Para pembuat masalah konservasi, terutama laki-laki, akan ragu untuk bertindak semena-mena (terhadap perempuan),” pungkasnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top