Jakarta (Greeners) – Pemerintah menargetkan pengurangan sampah laut sebesar 70 persen pada tahun 2025. Namun, berdasarkan data dari Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), penurunan yang tercatat sejak tahun 2018 hingga 2024 baru mencapai 41,68 persen, dari 615.674,63 ton menjadi 359.061,02 ton.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, mengatakan angka tersebut merupakan akumulasi sampah yang terus-menerus ada di lingkungan pesisir Indonesia. Selain itu, sebagian besar sampah sudah bocor ke laut.
“Dalam enam tahun terakhir, akumulasi sampah di pesisir mangrove dan laut Indonesia mencapai sekitar 5 juta ton. Pertanyaannya, dapatkah Indonesia bertahan dengan terus bertambahnya jumlah sampah dan pengelolaan yang kurang efektif?” ujar Reza dalam Forum Diskusi: Kolaborasi Menuju Target Zero Waste Zero Emission di Jakarta, Kamis (16/9).
Reza mengingatkan bahwa dengan 70 persen wilayah Indonesia merupakan laut, kebocoran sampah plastik ke laut telah mengancam ekosistemnya. Sampah plastik ini dapat merusak terumbu karang, mangrove, dan lamun, yang merupakan kekayaan besar Indonesia. Bahkan, sampah tersebut dapat mengancam hewan laut yang tidak mampu membedakan antara plastik dan makanan.
BACA JUGA: BRIN Gelar Diskusi Media, Bahas Sampah Plastik Bisa Mengalir ke Afrika
“Jika tren sampah terus meningkat, diprediksi pada tahun 2050 jumlah plastik di laut akan lebih banyak daripada jumlah ikan, yang akan menimbulkan kerugian besar,” tambah Reza.
Reza juga mencatat bahwa saat ini sistem pengumpulan sampah di Indonesia masih kurang dari 50 persen. Kemudian, masih banyak warga belum mendapatkan akses ke pengelolaan sampah yang efektif.
Metode landfill di Indonesia juga sebagian besar masih berupa open dumping. Menurut Reza, masalah ini harus terselesaikan terlebih dahulu. Sehingga, rencana pengelolaan sampah dapat terlaksana efektif.
Sampah Indonesia Mengalir ke Afrika
Sementara itu, Reza bersama beberapa kementerian telah melakukan penelitian mengenai sampah di perairan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sampah dari Sungai Cisadane dipantau menggunakan 11 drifter. Dua drifter di antaranya hampir mencapai Madagaskar dalam waktu enam bulan.
Meskipun hanya sepuluh persen sampah mencapai Afrika Selatan, lebih dari 50 persen mengarah ke sungai-sungai Indonesia. Sampah plastik tersebut mencemari wilayah sekitarnya dengan serius. Reza menjelaskan, sampah plastik dapat melintasi samudera. Sampah tersebut dapat bergerak dari Samudera Hindia hingga Pasifik.
“Walaupun tidak secara keseluruhan, sekitar 10 hingga 20 persen sampah akan langsung menuju Afrika Selatan,” tambahnya.
Pentingnya Penyediaan Anggaran
Reza menambahkan, setelah dihitung dari tahun 2018 hingga 2023, sekitar 484 ribu ton sampah plastik diperkirakan bocor ke lautan dunia setiap tahunnya. Ia juga menjelaskan bahwa potensi kerugian negara akibat kebocoran sampah plastik ke laut mencapai Rp225 triliun per tahun.
“Kerugian kita berkisar antara Rp125 triliun hingga Rp225 triliun per tahun. Selama enam tahun terakhir, kira-kira negara kita kehilangan sekitar Rp2.000 triliun akibat sampah plastik,” ungkap Reza.
BACA JUGA: KKP Mengkampanyekan Program Hilirisasi Sampah di Padang
Estimasi kerugian tersebut mencakup dampak ekonomi, pariwisata, kesehatan, dan sisi teknis. Reza juga menyoroti pentingnya komitmen politis pimpinan daerah dalam penyediaan anggaran untuk pengelolaan sampah. Anggaran pengelolaan sampah, seharusnya bisa optimal apabila mencapai 3 hingga 4 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, saat ini, anggaran tersebut baru mencapai 0,07 persen.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia