Seekor Gajah Sumatra Lahir di Riau, Tanda Konservasi Berhasil

Reading time: 2 menit
Gajah sumatra (Elephas maximus sumatrana). Foto: KLHK
Gajah sumatra (Elephas maximus sumatrana). Foto: KLHK

Jakarta (Greeners) – Seekor gajah sumatra (Elephas maximus sumatrana) telah lahir pada Sabtu, (6/4) pada pukul 03.30 WIB di Pusat Konservasi Gajah (PKG), Provinsi Riau. Kelahiran ini menandakan upaya konservasi gajah berjalan terus dan berhasil.

Anak gajah tersebut lahir dari induk gajah betina bernama “Fuja” (20 Tahun) dan induk jantan bernama “Sarma” (25 tahun). Keduanya berasal dari hasil evakuasi akibat korban jerat satwa di wilayah Kampar Kiri pada tahun 2008.

Peneliti dan aktivis lingkungan hidup Rheza Maulana mengatakan kabar tersebut sangat menggembirakan. Sebab, saat ini gajah sumatra merupakan hewan endemik Indonesia dan berada di ambang kepunahan.

“Setiap kelahiran berarti kan berkontribusi pada pertambahan populasi. Kabar ini juga perlu diapresiasi dan disebarluaskan untuk memupuk optimisme masyarakat,” kata Rheza kepada Greeners, Selasa (15/4).

BACA JUGA: Anak Badak Sumatra Lahir di TNWK, Tanda Ekosistem Membaik

Sementara itu, pengecekan kesehatan dan pengukuran morfometri anak gajah juga telah tim Balai Besar KSDA Riau lakukan. Dari pengecekan tersebut telah teridentifikasi bahwa gajah memiliki tinggi badan 75 cm, lingkar dada 97 cm, panjang badan 97 cm, berat badan 75,5 kg dan berjenis kelamin betina. Kondisi induk dan anak gajah dalam keadaan sehat serta menunjukkan vitalitas normal.

Tim dokter hewan dan perawat medis satwa dari Balai Besar KSDA Riau terus memantau intensif kondisi kesehatan induk dan anak gajah tersebut. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Satyawan Pudyatmoko berharap, gajah sumatra yang baru lahir pada bulan Ramadan dapat menjadi cahaya kebaikan bagi dunia konservasi.

Upaya Pelestarian Butuh Dukungan Publik

Reza menambahkan, media harus memberitakan kabar ini secara luas kepada publik. Hal itu bisa menanamkan optimisme agar masyarakat antusias mendukung upaya konservasi dan memerangi ancaman perburuan liar.

“Media pada umumnya hanya memberitakan yang jelek-jelek saja, misalnya gajah mati. Apakah mungkin karena lebih ‘menjual’ karena ada shock value? Namun, efeknya masyarakat tahunya satwa liar itu mati terus, jadi masyarakat bisa jadi pesimis,” tambah Rheza.

BACA JUGA: Penemuan Spesies Baru Dorong Peneliti Gali Keanekaragaman Hayati

Rasa pesimis tersebut dapat menyebabkan masyarakat lebih memilih memelihara hewan liar di dalam kandang daripada di alam bebas. Faktanya, ketika satwa hidup di alam bebas ada yang berhasil diselamatkan dan beranak pinak.

Rheza berharap supaya gajah sumatra terus diperhatikan. Sehingga, satwa tersebut tidak hanya mampu membiakkan dan menambah populasi, melainkan juga mempertahankan populasi yang ada dari ancaman-ancaman.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top