Adaptasi Perubahan Iklim untuk Air Bersih Harus Menyeluruh Hingga Hilir

Reading time: 2 menit
adaptasi perubahan iklim
Ilustrasi. Foto: Ist.

Jakarta (Greeners) – Perubahan iklim memberi dampak yang cukup besar terhadap beberapa sistem global, salah satunya terhadap sistem air. Suhu yang makin panas karena konsentrasi gas rumah kaca yang makin tinggi mengakibatkan uap air di udara makin banyak sehingga frekuensi dan intensitas hujan deras makin tinggi. Kondisi ini mengakibatkan semakin banyak kejadian banjir dan tanah longsor.

Program adaptasi perubahan iklim diharapkan segera dilaksanakan untuk mengatasi krisis air tersebut melalui penggunaan teknologi tepat guna. Direktur Jendral Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin mengatakan bahwa harus ada pendekatan komprehensif terkait kebijakan pemerintah pusat maupun daerah untuk menjalankan program adaptasi perubahan iklim ini.

BACA JUGA: Pemerintah Minta Pelaku Usaha Mendukung Target Penurunan Emisi

“Pendekatakan adaptasinya itu harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Dari masyarakat misalnya, kalau saja setiap individu di sebuah wilayah membuat lubang biopori untuk resapan air, maka kerusakan tanah akibat longsor maupun mandeknya akses air bersih pasti bisa teratasi,” tuturnya kepada Greeners, Jakarta, Senin (27/03).

Menurut Nur, pemerintah daerah juga harus mematuhi Rencana Tata Ruang Wilayah di tiap daerahnya. Pasalnya, yang terjadi saat ini masih banyak pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Misalnya ketidakseimbangan pembangunan ruang hidup masyarakat dengan ruang terbuka hijau yang ada.

“Kepatuhan masyarakat dan pemerintah daerah ini yang seharusnya menjadi tolak ukur apakah adaptasi perubahan iklim untuk sistem pengelolaan air di Indonesia bisa berjalan atau tidak,” ujarnya.

BACA JUGA: Pemerintah Daerah Harus Serius Rancang Program Adaptasi Mitigasi Perubahan Iklim

Mengenai pengelolaan air, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar mengatakan, masih banyak manusia yang kurang bijaksana dalam pengelolaan air. Misalnya, 80% air limbah tidak diolah dan langsung dibuang, padahal sebenarnya bisa dimanfaatkan kembali seperti untuk kepentingan pertanian dan peternakan, pembangkit energi, industri, dan lain-lain. Hal ini, menurut Rachmat, dapat berkontribusi pada praktik pemborosan air.

“Masyarakat, khususnya generasi muda, harusnya lebih kritis lagi menyikapi penggunaan dan pengelolaan air karena perubahan iklim dan meningkatnya populasi manusia memberi tekanan yang besar pada sumber daya air kita. Apalagi, sebanyak 40 persen populasi dunia mengalami kelangkaan air,” kata Rachmat.

Penulis: Danny Kosasih

Top