Sistem Desentralisasi Mempercepat Implementasi Putusan MK 35

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Dalam pengaplikasian putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2012 tentang pengakuan hutan adat bukan lagi hutan negara, menurut Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah, hal tersebut harus dilakukan secara desentralisasi.

Junaidi berpendapat, bahwa tujuan pertama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality sehingga pelaksanaan desentralisasi tersebut diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal.

Namun, menurutnya, dalam sistem desentralisasi pun masih perlu memperhatikan faktor lain yang cukup penting dalam pengaplikasian putusan MK 35. Faktor-faktor lain tersebut, lanjutnya seperti karakteristik daerah, wilayah dan budaya masyarakat, lalu potensi yang ada dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing daerah.

“Setiap daerah kan punya karakteristiknya masing-masing, contoh seperti di Bengkulu ini, mayoritas masyarakat desanya itu petani,” terang Junaidi saat menjadi pembicara pada Dialog Nasional Hutan Adat, Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat, Jakarta, Kamis (02/10).

Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Junaidi menjelaskan jika menggunakan pendekatan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Maka, tambahnya, kepentingan desentralisasi pada pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

“Jadi, masyarakat bisa dengan leluasa dan tidak takut merasa tertindas secara sosial maupun ekonomi dalam mengelola sumber daya alam hutannya,” tambahnya.

Menurut Junaidi, karena karakteristik dan kekhasan setiap daerah itu berbeda-beda, maka pemerintahan provinsi yang melakukan desentralisasi untuk pemenuhan mandat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. Tentu saja sesuai dengan kewenangan yang diserahkan kepada pemerintahan provinsi.

“Sehingga dengan pengesahan UU Desa No 6 Tahun 2014 tersebut, mampu memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa, pelestarian, dan memajukan adat serta mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Desa,” tutur Junaidi.

Dengan adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa dan Putusan MK 35 ini, diharapkan akan lahir berbagai inisiatif yang melindungi dan mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat terhadap wilayah adatnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktorat Planologi, Kementerian Kehutanan, Basuki Karya Atmadja, juga secara gambalang mengakui bahwa berdasarkan putusan MK 35 tersebut, hutan adat sudah seharusnya dikelola dan dijaga oleh masyarakat adat setempat.

“Setelah putusan Mk 35, hutan adat tak lagi menjadi bagian dari hutan negara. Dalam artian ini, negara tidak lagi mengelola hutan secara langsung namun memberikannya kepada masyarakat hukum adat termasuk pengaturan dan pengelolaannya,” jelas Basuki.

Dia juga menghimbau kepada para Bupati dan Walikota agar bisa proaktif dalam melakukan pendataan jumlah masyarakat, batasan wilayah dan luasannya, serta segala pendataan yang dibutuhkan yang berada di daerahnya masing-masing.

“Bupati dan Walikota juga harus membuat peta wilayah keberadaan masyarakat adat dan hutan adat agar bisa lebih terkontrol,” katanya.

(G09)

Top