Walhi: Jangan Beri Ruang Terhadap Upaya “Green Wash”

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Sebagai sebuah momentum yang menentukan pasca selesainya Protokol Kyoto, pelaksanaan Konferensi para Pihak atau Conference of Parties (COP) 21 Paris diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh para pihak khususnya kepala negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi.

Desakan kuat dari organisasi masyarakat sipil pun masih sama, yaitu agar COP 21 Paris ini mampu menghasilkan kesepakatan yang kuat untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat Celcius seperti sebelum masa industri. Target ini kurang ambisius dibanding dari target sebelumnya yaitu dua derajat Celcius, tapi justru inilah kesempatan terbaik bagi pemimpin dunia jika ingin memberi terobosan yang signifikan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Abetnego Tarigan, menyatakan, selama ini Walhi menilai bahwa Protokol Kyoto terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal.

“Korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat. Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah. Berkeadilan dan Berkelanjutan,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners,” Jakarta, Selasa (01/12).

Terkait pelaksanaan COP 21 Paris, Walhi meyakini bahwa mata dunia akan tertuju kepada Indonesia karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam mitigasi perubahan iklim. Jika sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia terbesar dari Land Use, Land Use Change and Deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.

Menurut Walhi, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi proyek REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahannya justru parah.

Walhi, lanjut Abet, berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batubara.

Walhi juga berharap, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem.

“Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi, termasuk dalam restorasi ekosistem,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top