Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?

Reading time: 2 menit
cinta laut
Ilustrasi: Ist

Judul: Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?

Penulis: Muhammad Ridwan Alimuddin

Penerbit: Penerbit Ombak (Anggota IKAPI)

Jumlah Halaman: 188 + 16 halaman romawi,
Cetakan pertama, 2004; Cetakan kedua, 2013

 

Tidak ada yang bisa menyanggah keindahan dan potensi laut yang dimiliki Indonesia. Sayang, tingginya permintaan dan kebutuhan manusia terhadap sumber daya laut sering sekali melampaui batas sehingga berdampak pada rusaknya laut.

Buku berjudul “Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?” menceritakan sisi lain dari persoalan laut Indonesia. Melalui buku ini pembaca diajak untuk mengenal fenomena sosial, budaya dan tradisi masyarakat pesisir dalam mengelola potensi laut yang ada. 

Buku yang terdiri dari 188 halaman ini merupakan kumpulan esai dan catatan perjalanan Muhammad Ridwan Alimuddin selama melakukan riset di lapangan. Ridwan adalah seorang penulis, fotografer, peneliti, jurnalis, dan fixer (pembantu jurnalis). Buku ini mengandung otokritik terhadap generasi muda terutama mahasiswa perikanan dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam berbagai persoalan laut dan perikanan di Indonesia.

Menggunakan gaya penulisan populer, Ridwan mengungkapkan dengan runtut berbagai sisi menarik dari kehidupan masyarakat nelayan dan berbagai persoalan yang dihadapi. Seperti bahasan tentang pemboman ikan, ketertarikan kepada pulau-pulau kecil, pembahasan kapal pinisi, perjuangan menjaga pulau terluar Indonesia, keadilan bagi nelayan, dan aspek dinamika sosial-masyarakat pesisir Nusantara lainnya.

“Sebagai esai atau catatan lapangan bentuk itu cocok karena sebagian isi tulisan ini berdasarkan dari hidup di lapangan,” tulis Ridwan dalam kalimat pengantarnya.

Kumpulan esai terbagi atas beberapa bagian. Bagian awal esai menyampaikan hal-hal mengenai kebudayaan bahari, antara lain mitos pelaut dan nelayan, ketegaran hidup nelayan, suku Bajau, keunikan budaya bahari, kepemimpinan dari laut, dan kebiasaan pemberian nama perahu di kalangan nelayan. Bagian kedua dalam buku ini menuliskan ketidakadilan yang dialami oleh komunitas nelayan, mulai dari wanita penjual ikan yang dituduh sebagai penggusur sampai tekanan perjuangan hidup nelayan.

Pada bagian Prolog, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2001-2004 Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. turut menyambut baik buku ini. “Kumpulan esai ini merupakan sumbangan yang cukup berharga bagi masyarakat terutama generasi muda untuk lebih dapat mengerti dan memahami kehidupan nelayan, laut, dan kebudayaan bahari,” ungkapnya.

Pengamatan lapangan yang dituangkan oleh penulis dalam buku ini dapat menjadi bahan kajian atau sekadar menambah wawasan pembaca terkait seluk beluk masalah kemaritiman Indonesia, dimana tidak semua pengamat atau peneliti secara spesifik mengkaji isu tersebut. Buku ini juga menjadi masukan bagi pemangku kepentingan (stakeholders), akademisi dan pemerintah untuk memperhatikan permasalahan kemaritiman Indonesia dari aspek sosial dan budaya.

Penulis: Sarah R. Megumi

Top