Hiu Lanjaman, Sang Hiu Sutra Yang Harus Kita Jaga

Reading time: 2 menit
Foto : wikimedia commons

Carcharhinus falciformis atau dalam penamaan lokal Jawa dinamakan Hiu Lanjaman merupakan jenis hiu pelagis yang tersebar luas (circumglobal) di daerah perairan tropis dan subtropis. Hiu yang dikenal juga dengan nama silky shark ini merupakan salah satu dari tiga spesies hiu yang paling melimpah di dunia.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki nama lain bagi hiu ini, yaitu ‘hiu kejen’/’hiu lonjor’ (Lombok-NusaTenggara Barat), hiu ‘mungsing’ atau hiu sutra (Bali).

Di seluruh dunia, lebih dari 400 spesies hiu ditemukan dengan ukuran yang beranekaragam. Sebanyak 116 spesies dari 25 famili hiu tercatat ditemukan di Indonesia.

Penangkapan yang berlebihan mengakibatkan tekanan terhadap beberapa jumlah spesies hiu. Sebanyak 22 jenis hiu masuk ke dalam daftar hewan dilindungi yang terdaftar dalam International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN’s) Red List of Threatened Species pada tahun 2002.

Data Statistik Perikanan tahun 2015, menunjukkan 60% total produksi hiu di Indonesia adalah kelompok hiu lanjaman dari seluruh famili Carcharhinidae, dan 54% diantaranya merupakan hiu spesies Carcharhinus falciformis.

Hiu lanjaman hidup pada daerah pantai kedalaman 18 m sampai laut dalam (200m). Karena populasinya yang melimpah ini, hiu lanjaman sering menjadi target tangkapan di dalam industri perikanan hiu baik di daerah tropis dan sub tropis.

Foto : shark.org

Secara morfologi, hiu lanjaman dicirikan memiliki pangkal sirip pada punggung pertama yang terletak di belakang, ujung belakang sirip dada. Sisi bagian dalam sirip punggung kedua sangat panjang antara 1,6 – 3,0 kali tinggi siripnya. Moncong hiu agak panjang, bulat menyempit (tampak dari arah bawah), gigi atas kecil dengan lekukan di satu sisinya, gigi bawah kecil, ramping dan tegak (White et al., 2006).

Untuk mengantisipasi lonjakan tangkapan hiu lanjaman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat pedoman acuan pembatasan kuota tangkap hiu lanjaman atau Non-Detriment Finding (NDF).

Dikutip dalam artikel Greeners.co 16 April 2019 lalu, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dirhamsyah menjelaskan bahwa dokumen NDF merupakan analisis risiko pemanfaatan hiu yang terdaftar dalam Apendiks II CITES berdasarkan aspek biologi, perikanan, pemanfaatan, dan pengelolaan hiu lanjaman saat ini.

Dokumen NDF merekomendasikan perbaikan pencatatan produksi dan pemanfaatan hiu lanjaman, perlindungan habitat penting seperti lokasi memijah, melahirkan, dan pengasuhan anakan serta penghentian praktik pengambilan sirip hiu dan membuang sisa tubuhnya, baik dalam keadaan hidup atau mati ke laut.

LIPI sebagai pemegang otoritas keilmuan CITES merekomendasikan kuota tangkap sebesar 80 ribu untuk tahun 2019 dengan minimum ukuran panjang tubuh dua meter atau dengan berat minimum 50 kg.

Artinya pemanfaatan hiu lanjaman dapat dilakukan dan tidak mengganggu populasinya di alam dengan syarat melakukan pembatasan jumlah tangkapan melalui sistem kuota dan mengatur ukuran hiu lanjaman yang boleh dimanfaatkan. Adanya penyusunan dokumen ini sebagai acuan ilmiah pengelolaan dan pemanfaatan secara berkelanjutan spesies hiu di Indonesia.

Penulis : Sarah R. Megumi

Top