Nisa Wargadipura, Kritik Kurikulum Pendidikan Melalui Pesantren Berbasis Agroekologi

Reading time: 4 menit
Nisa Wargadipura. Foto: greeners.co/Teuku Wildan

Nisa Wargadipura. Foto: greeners.co/Teuku Wildan

Aktivis Tani

Nisa mengisahkan bahwa ia dan suaminya sudah terbiasa dengan kehidupan pertanian. Berkumpul dengan petani telah ia lakukan sejak muda. Ia juga aktivis Forum Pelajar, Pemuda dan Mahasiswa Garut (FPPMG). “Saya dan suami memang dari dulu organizer. Dulu sama-sama gabung di FPPMG waktu zaman (pemerintahan) Soeharto,” ujarnya.

Pengalaman pertama dalam mengadvokasi petani diungkapkan Nisa saat terjadi konflik antara petani di Desa Sagara, sebuah desa yang terletak di pinggiran Kabupaten Garut, dengan Perhutani.

Konflik berakhir pada 1997 dengan dipastikannya lahan pertanian yang digarap petani adalah milik negara, bukan milik Perhutani. Namun, permasalahan petani di Garut tidak selesai begitu saja. Menurut Nisa, permasalahan pertanian justru semakin meningkat saat krisis ekonomi dan lengsernya Presiden Soeharto. “Pada masa itu masyarakat secara besar-besaran kembali ke kampung karena kerusuhan di Jakarta,” katanya.

Warga yang kembali ke desa ternyata menggarap lahan yang sebelumnya digarap oleh Perhutani. Hal ini membuat sengketa lahan di beberapa daerah terulang kembali. Fenomena ini, lanjut Nisa, tidak hanya terjadi di Garut saja, melainkan terjadi pula di wilayah sekitar Garut, seperti Tasikmalaya dan Ciamis. Hal ini membuat Nisa dan beberapa kawannya mendirikan organisasi petani bernama Serikat Petani Pasundan (SPP).

“Sengketa ini berakhir setelah Gus Dur mengeluarkan statement bahwa 45 persen lahan tersebut adalah milih rakyat,” katanya.

(selanjutnya)

Top