Nisa Wargadipura, Kritik Kurikulum Pendidikan Melalui Pesantren Berbasis Agroekologi

Reading time: 4 menit
Salah satu sudut kebun di Pesantren At Thaariq. Berbagai jenis tanaman obat dan sayur yang ditanam disini juga menjadi laboratorium biologi dan pertanian bagi para santri. Foto: greeners.co/Teuku Wildan

Salah satu sudut kebun di Pesantren At Thaariq. Berbagai jenis tanaman obat dan sayur yang ditanam disini juga menjadi laboratorium biologi dan pertanian bagi para santri. Foto: greeners.co/Teuku Wildan

Beberapa tahun setelah sengketa berakhir, petani justru menjual lahan mereka. Selain itu, banyak petani yang terjerat hutang dan tidak mampu membayar ketika masa panen tiba. Tidak sedikit petani beralih profesi karena kehilangan lahan dan modal akibat hutang.

“Mereka terpaksa menjual semua barang yang ada di rumahnya, dari motor hingga kasur pun rela mereka jual untuk membayar hutang. Bahkan anak perempuan usia belasan tahun pun dikawinkan. Itu kan namanya dijual, masuk ke trafficking,” ujarnya.

Setelah diselidiki, sistem pertanian monokultur yang diterapkan petani ditengarai sebagai penyebab petani jatuh dalam kemelaratan. Menurut Nisa, para petani yang sebelumnya menjadi kaum urban di Jakarta telah melupakan budaya tanam yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Dari keadaan tersebut, Nisa menyimpulkan bahwa kawasan pertanian untuk menjadi percontohan bagi para petani sangat dibutuhkan. Kegelisahan inilah yang membuat Nisa dan suaminya mendirikan pesantren Ath Thaariq, sebuah pesantren berbasis agroekologi.

Gemar Puisi

Nisa mengaku dirinya sudah gemar berorganisasi sejak duduk di bangku sekolah dasar dengan aktif dalam kegiatan Pramuka. Orangtuanya pun mendorongnya untuk berkegiatan di luar jam belajar sekolah, seperti mengikuti perlombaan membaca puisi. Ia pun mengaku sering menjuarai lomba tersebut semasa sekolah. “Sampai sekarang aku masih suka nulis puisi di facebook,” ujar ibu dari tiga orang anak ini.

Bagi Nisa, keluarga memiliki peran penting dalam proses kehidupan. Dari kegiatan berorganisasi sampai urusan mencintai alam, semuanya berawal dari didikan keluarganya, terutama dari Sang Ayah. Menurut Nisa, Ayahnya tidak hanya mendidik anak-anaknya untuk jadi orang yang maju saja, melainkan juga menanamkan rasa cinta dan peduli pada alam.

“Pendekatan yang ayah lakukan ke anak-anaknya itu bukan ke pusat kota tapi ke alam, sering ngajak ke pantai, ke sungai. Jadi, sampai sekarang lebih suka lihat pemandangan kayak begini dibandingkan hidup di kota,” pungkasnya.

Sosok Nisa Wargadipura, Kritik Kurikulum Pendidikan Melalui Pesantren Berbasis Agroekologi_04

Penulis: TW/G37

Top