Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, Merayakan Perjuangan Perempuan bagi Lingkungan

Reading time: 3 menit
jambore perempuan pejuang tanah air
Para peserta dan panitia Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air berfoto bersama usai acara. Jambore bertajuk "Perempuan Merayakan Perjuangan Tanah Air" berlangsung pada 14-16 Juni 2017 di Pesantren Ath-Thaariq dan hotel Suminar, Garut, Jawa Barat. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

Garut (Greeners) – Sekitar 150 perempuan dari seluruh penjuru Indonesia hadir dalam acara Perempuan Merayakan Perjuangan Tanah Air di Garut pada puncak pelaksanaan Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, Minggu 16 Juli 2017. Acara yang diselenggarakan oleh Sajogyo Institute dan Pesantren Ath-Thaariq Garut ini berlokasi di Hotel Suminar Garut.

Dalam acara ini dihadirkan para perempuan yang dikenal atas usahanya memperjuangkan kelestarian lingkungan, seperti Aleta Baun dari Nusa Tenggara Timur, Eva Bande dari Sulawesi Tengah, dan Gunarti dari Jawa Tengah. Ketua Pelaksana Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air Siti Maimunah menyatakan bahwa jambore ini dijadikan momen bagi para perempuan Indonesia untuk berdiskusi dan merayakan perjuangan mereka dalam mempertahankan kelestarian lingkungan tempat mereka tinggal.

“Acara ini dilaksanakan untuk mempertemukan wanita-wanita yang telah berjuang bagi lingkungan dan kemanusiaan di daerah masing-masing supaya bisa menginspirasi satu sama lain. Sekarang, kita (para peserta jambore) akan merayakan pengetahuan yang telah kita dapatkan selama ini dengan berdiskusi dan bertukar pengetahuan,” ujar perempuan yang akrab disapa Mai ini dalam sambutannya, Minggu (16/07).

jambore perempuan pejuang tanah air

Pendiri Pesantren Ath-Thaariq Garut, Ibang Lukman dan Nissa Wargadipura membuat pesantren ekologi yang mengajak para santrinya untuk menyelamatkan dan memulihkan alam dengan cara bercocok tanam. Mereka mengembangkan benih dan menanam sendiri tanaman sumber pangan dan tanaman obat. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

Dalam salah satu sesi acara, pendiri Pesantren Ath-Thaariq Garut, Ibang Lukman dan Nissa Wargadipura, menyampaikan bahwa munculnya kerusakan lingkungan di bumi ini tak lain dikarenakan oleh kesombongan manusia yang selalu serakah dalam mengambil kekayaan alam di bumi. Bertolak dari hal tersebut, keduanya berusaha untuk membuat pesantren ekologi yang mengajak para santrinya untuk menyelamatkan dan memulihkan alam dengan cara bercocok tanam. Mereka mengembangkan benih dan menanam sendiri tanaman sumber pangan dan tanaman obat.

“Melalui Pesantren Ath-Thaariq, kami berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan alam dengan cara bercocok tanam. Dalam bercocok tanam, kami membuat pupuk sendiri, mengembangkan benih sendiri, dan kami juga memelihara ular, burung, dan kupu-kupu untuk menyeimbangan ekosistem. Kami juga membuat bank benih untuk menampung benih-benih lokal. Kita berusaha untuk menjaga hubungan baik antara manusia dengan alam,” ujar Nissa.

Pembicara lainnya seperti Aleta Baun, Eva Bande, dan Gunarti dihadirkan untuk berbagi pengalaman dan memberikan semangat bagi para perempuan lainnya. Ketiga perempuan ini merupakan aktivis perempuan yang berjuang untuk melawan pihak-pihak yang ingin merusak lingkungan di daerah mereka.

Seperti Gunarti misalnya. Ia merupakan perempuan pertama yang berhasil menggerakan para ibu di desanya untuk memprotes penambangan batu kapur di Pegunungan Kendeng. Gunarti melakukan protes karena penambangan tersebut telah mengancam sumber air dan ekosistem tempat ia dan warga Kendengn lainnya bertani dan berkebun.

Diana, salah satu peserta asal Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa hadirnya para pejuang perempuan seperti Eva Bande, Gunarti, dan Aleta Baun, benar-benar membantu para perempuan seperti dirinya untuk berani berbicara dan bertindak. Selain itu, ia mengaku merasa lebih percaya diri dan mendapat banyak ilmu baru setelah mengikuti kegiatan Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air ini.

“Dengan adanya para pejuang wanita seperti Eva Bande, Mama Aleta (Aleta Baun) dan Gunarti, saya dan teman-teman perempuan yang lain merasa lebih berani untuk melawan pihak-pihak yang ingin merusak alam di sekitar tempat tinggal kami. Kami sebagai perempuan jadi merasa punya peran,” tutur Diana.

Acara Perempuan Merayakan Perjuangan Tanah Air berlangsung dengan meriah dan diramaikan dengan pameran produk dari 13 kampung yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Kepulauan Sunda Kecil. Para peserta dari setiap daerah juga menampilkan drama di atas panggung. Drama tersebut menceritakan kisah krisis sosial-ekologi yang terjadi di daerah mereka masing-masing. Setelah itu, acara ini diakhiri dengan diskusi tertutup dan pembuatan Wall of Hopes di Pondok Pesantren Ath-Thariq, Garut.

“Animo perempuan terhadap kegiatan jambore ini ternyata sangat tinggi, sehingga tidak susah bagi saya untuk menyelenggarakan acara ini. Melalui kegiatan ini, saya melihat bahwa minat belajar perempuan di pedesaan, dari remaja hingga ibu-ibu, ternyata begitu besar. Kedepannya, diharapkan jambore akan terus dilakukan,” pungkas Mai.

Penulis: Anggi Rizky Firdhani

Top