Krisis Ekologis Tak Terbendung, Walhi Jogja Buka Layanan Aduan

Reading time: 2 menit
Walhi Yogyakarta membuka layanan pengaduan mengenai persoalan lingkungan hidup akibat krisis ekologis. Foto: Freepik
Walhi Yogyakarta membuka layanan pengaduan mengenai persoalan lingkungan hidup akibat krisis ekologis. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Permasalahan krisis sosial-ekologis di Yogyakarta semakin tak terbendung. Hal itu imbas ekspansi pembangunan nasional, industri besar, serta buruknya tata kelola ruang. Melihat persoalan tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta membuka layanan pengaduan mengenai persoalan lingkungan hidup.

Yogyakarta saat ini mempunyai banyak permasalahan lingkungan hidup. Misalnya, maraknya pertambangan bahan galian golongan C di Daerah Aliran Sungai Progo. Proyek itu berdampak terhadap ekosistem sungai dan masyarakat, yaitu perubahan aliran sungai, erosi, degradasi air sungai, dan penurunan muka air tanah.

Selain itu, ekspansi industri pariwisata modern yang identik dengan penetrasi modal juga menyebabkan krisis sosio-ekologis cukup masif dan melupakan tata kelola lingkungan.

“Industri pariwisata membutuhkan topangan dari sektor lainnya, terutama industri perhotelan dan laju pembangunan fisik lainnya. Peningkatan pembangunan di kawasan perkotaan sepanjang 2020 sampai dengan 2024 semakin tidak terbendung lajunya,” ungkap Staf Advokasi Walhi Yogyakarta, Rizki Abiyoga lewat keterangan tertulisnya, Selasa (21/5).

BACA JUGA: Kepentingan Pendanaan Pilkada Berpotensi Memperburuk Krisis Sosial Ekologis

Proyek tersebut telah menimbulkan dampak nyata di daerah Miliran. Akibat pembangunan hotel, sumber air warga hilang. Selain itu, berimbas pula terhadap minimnya ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Padahal, lanjut Abi, eksistensi ruang terbuka hijau memiliki fungsi penting sebagai serapan air tanah hingga penurunan emisi karbon. Bahkan, menjadi ruang untuk mengurangi polusi udara yang berada di perkotaan.

Krisis yang semakin tampak nyata, Walhi Yogyakarta konsisten memperjuangkan keadilan ekologis. Ruang dalam mewujudkan hal tersebut diejawantahkan dalam kerja-kerja advokasi lingkungan hidup dengan fokus pada krisis ekologis berbasis bioregion.

“Basis bioregion ini menjadi strategi yang dapat mendorong keterlibatan lebih banyak orang. Walhi Yogyakarta memetakan setidaknya lima bioregion untuk melakukan advokasi lingkungan hidup,” tambah Abi.

Bioregion itu meliputi wilayah Pegunungan Menoreh (Kabupaten Kulon Progo, Magelang, dan Purworejo), Gunung Merapi (Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten termasuk Daerah Aliran Sungai), Pesisir, Perkotaan, dan Karst Gunungsewu (Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan).

Masyarakat Perlu Dapat Keadilan

Maraknya pembangunan yang tidak memerhatikan lingkungan menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Masyarakat yang paling merasakan dampak kerusakan tersebut.

Misalnya, kerusakan terjadi di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungsewu. Kawasan itu mengalami ancaman serius seperti penambangan, deforestasi, pembangunan bisnis privat, dan pengurangan luasan KBAK.

Kawasan Karst Gunungsewu memiliki total luasan sebesar 71.713 hektare dengan ragam fungsi. Fungsi karst tidak hanya berhenti tentang sumber daya air, melainkan juga sebagai pengikat karbon atau carbon capture dan carbon storage di atmosfer.

BACA JUGA: Pembangunan Berbasis Jawa Sentris Picu Bencana Ekologis Pulau Jawa

Pemkab Gunungkidul juga gencar melakukan pengurangan KBAK Gunungsewu dengan hanya menyisakan 37.018 hektar atau hanya 48,81% dari luasan saat ini.

“Namun, fungsi dan potensi ini terancam pembangunan bisnis privat dan pengurangan KBAK. Pembangunan bisnis privat di KBAK Gunungsewu berupa perhotelan dan sektor pariwisata berskala besar,” kata Abi.

Kerusakan-kerusakan tersebut tentu akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat, seperti sumber air yang makin berkurang. Mereka perlu dibantu untuk mendapatkan haknya dengan hidup terbebas dari ancaman kerusakan lingkungan.

“Berangkat dari seluruh persoalan lingkungan hidup tersebut, penting untuk seluruh masyarakat sipil saling bekerja sama demi keberlangsungan hidup yang lebih baik. Terutama, tentang lingkungan hidup dan untuk mewujudkan keadilan ekologis,” tutup Abi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top