Jakarta (Greeners) – Pemerintah Daerah Bantul dan perangkat Kelurahan Srimulyo mengadakan sosialisasi pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di Kelurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sosialisasi tersebut diwarnai dengan aksi warga yang menolak pembangunan TPSS tersebut karena khawatir sawah mereka akan tercemar.
Aksi penolakan tersebut disampaikan oleh warga Kelurahan Sitimulyo, Kabupaten Bantul. Mereka menyampaikan penolakan itu lantaran letak TPSS berada di perbatasan antara kelurahan Srimulyo dan Sitimulyo.
Warga yang menolak berasal dari Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergunung I, dan Pagergunung II. Keempat padukuhan tersebut merupakan wilayah yang padukuhannya berada di perbatasan antara Sitimulyo dan Srimulyo, sehingga terdapat potensi pencemaran.
Sejumlah sawah warga dari keempat padukuhan di Sitimulyo terancam tercemar sampah. Warga pun menyatakan siap berdemonstrasi lebih besar apabila pemerintah tetap membangun TPSS di wilayah tersebut.
Berdasarkan keterangan dari Walhi Yogyakarta, TPSS ini akan pemerintah bangun di tanah seluas 3.000 meter persegi, dengan status tanah sultan ground. Terdapat tiga titik yang akan menjadi opsi pembangunan, yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang.
Menurut Kepala Divisi Kampanye Walhi Yogyakarta, Elki Setiyo Hadi, pemda akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak enam bulan. Masa kontrak tersebut akan berakhir pada Desember 2024.
BACA JUGA: Air Lindi Cemari Sumber Air Warga Piyungan Yogyakarta
“Tidak ada penjelasan teknis terkait bagaimana model pengelolaan penguraian kandungan lindi, dan pengelolaan gas metan yang akan pemerintah lakukan,” kata Elki lewat keterangan tertulisnya, Jumat (5/7).
Elki menambahkan, dalam sosialisasi ini juga tidak ada pernyataan yang jelas bahwa TPSS tersebut digunakan untuk pembuangan residu saja. Sehingga, kemungkinan besar sampah yang dibuang di TPSS merupakan sampah hasil pengangkutan dari hulu yang tidak diolah.
Tanah Warga Masih Tercemar Air Lindi
Sementara itu, dalam operasional TPSS Srimulyo berencana akan menggunakan geomembran dan talud untuk menahan air lindi. Namun, pada praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi.
“Warga telah membuktikan dengan mengecek Tempat Pembuangan Akhir (TPA) transisi yang menggunakan geomembran, justru pada akhirnya tetap rusak dan akhirnya air lindi masih mencemari tanah dan air milik warga,” tambah Elki.
Menurut pengamatan Walhi, pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten atau kota di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan desentralisasi. Hal itu juga telah menunjukkan bahwa pemerintah provinsi DIY melepaskan tanggung jawabnya dari kegagalan pengelolan sampah.
Pemda Harus Selesaikan Masalah Sampah secara Holistik
Dari berbagai serangkaian peristiwa darurat sampah, Walhi Yogyakarta mendorong solusi yang bisa pemerintah selesaikan secara holistik. Walhi meminta pemerintah merancang pengembangan dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah. Mereka harus merancang dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi.
“Sistem pengelolaan sampah harus pemerintah lakukan dengan tujuan sistemik yang lebih besar. Salah satunya memastikan layanan dasar publik seperti air bersih, kesehatan, energi, pendidikan, makanan dan kebutuhan mendasar lainnya untuk semua,” ujar Elki.
BACA JUGA: Sungai Brantas Makin Panas, Plankton Kali Brantas Punah
Walhi juga menekankan bahwa kebijakan terkait pengelolaan sampah harus menyediakan manfaat lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik, dan ketahanan pangan.
“Seluruh warga atau komunitas harus bisa mengakses hal-hal tersebut. Khususnya, bagi mereka yang saat ini telah merasakan kerugian akibat pencemaran,” ujar Elki.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia