Ancaman Cuaca Panas Ekstrim Kian Meningkat bagi Perkotaan

Reading time: 3 menit
cuaca panas
Ilustrasi: wallpaperwide.com

LONDON, 3 April 2017 – Dunia dan penduduk perkotaan akan menghadapi risiko cuaca panas ekstrim yang kian meningkat pada abad ini meski dunia mampu menepati janji dan menahan pemanasan global pada 2°C atau di bawahnya, ungkap penelitian terbaru.

Apabila pemanasan global dapat ditahan pada 1.5°C, target ideal yang ingin dicapai pada Konferensi Iklim di Paris, maka beberapa kota besar dengan populasi di atas 10 juta akan berada pada zona bahaya, dua kali lipat daripada risiko saat ini. Lebih lanjut, jumlah orang yang terdampak cuaca panas ekstrim akan mencapai 350 juta orang pada 2050.

Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Proceedings of the National Academy of Sciences, masalah yang dieksplorasi tidak hanya terbatas pada kejadian panas planet seperti pada umumnya. Panas tersebut tergolong ekstrim dan diprediksi akan meningkat secara dramatis.

Bahaya Kelembaban

Panas akan dibarengi dengan kelembaban. Setiap kenaikan suhu 1°C akan terjadi peningkatan kelembaban di atmosfer sebesar 7 persen.

Para peneliti melihat data dari 44 kota besar, antara lain Karachi di Pakistan dan Kalkuta di India, yang mengalami kenaikan suhu tertinggi pada tahun 2015 silam selama lebih dari 30 tahun.

“Apabila kelembaban bergerak konstan seperti yang kita harapkan dengan perubahan iklim dan suhu bergerak naik maka kelembaban di atmosfer akan meningkat secara non-linear,” kataTom Matthews, pakar iklim dari Liverpool John Moores University di UK, yang memimpin penelitian tersebut.

Matthews mengatakan bahwa, “Hal tersebut mempengaruhi seberapa mudah kita bisa mendinginkan diri karena kita kehilangan panas melalui keringat dan semakin banyak lembab di atmosfer, proses tersebut akan menjadi semakin kurang efisien.”

Para peneliti lainnya sudah mencapai kesepakatan bahwa apabila kenaikan suhu global mencapai 4°C pada abad ini akibat dari skenario bisnis seperti biasa dari membakar bahan bakar fosil dan menambah karbon dioksida di atmosfer, maka beberapa bagian dari bumi ini menjadi tidak toleran terhadap panas dan tidak bisa didiami.

Cuaca panas ekstrim sudah digolongkan sebagai pembunuh di beberapa komunitas. Gas rumah kaca yang tidak terkendali akan mendorong jumlah migran dari Timur Tengah dan Afrika Utara, yang harus mengungsi karena cuaca panas ekstrim dan kekeringan.

Hal tersebut dapat terjadi pada kondisi ekstrim, namun Matthews dan koleganya ingin mengetahui apa yang dapat terjadi dengan peningkatan suhu global.

“Tekanan panas dimulai pada suhu yang rendah karena kita bergerak, kita menciptakan panas dari dalam dan kita butuh menghilangkan panas tersebut,” jelasnya.

Para peneliti berpijak pada batasan standar yang dikatakan sebagai kondisi bahaya dari para ahli meterologi, yaitu saat termometer mencapai 40.6°C dan mulai terlihat kejadian yang mungkin akan dialami bumi apabila menembus level 1.5°C.

“Mungkin tidak terlihat seperti penting, tapi mengingat kita sudah mencapai 0.8°C dan berkomitmen untuk tetap pada 0.7°C, ini merupakan perubahan yang besar,” jelas Matthews.

Level kelembaban di atmosfer akan meningkat bersamaan dengan kenaikan udara ditambah dengan rata-rata hari di mana bumi akan mengalami suhu di atas 40.6°C.

Tempat-tempat yang sudah mengalami kejadian tersebut akan lebih sering lagi mengalami hal yang serupa dan akan menjadi lebih banyak. Demikian pula jumlah penduduk pada kiota-kota besar tersebut cenderung meningkat.

Frekuensi Cuaca Panas Ekstrim

“Salah satu contoh adalah Lagos di Nigeria,” kata Matthews. “Dengan 1.5°C, suhu 40.6°C akan dialami ratusan kali lebih sering sebelum mencapai batasan tertentu. Kita tidak tahu kapan pemanasan 1.5° C akan terjadi, namun apabila terjadi di akhir abad maka kita bisa menantikan cuaca panas di atas ambang batas akan terjadi ratusan hari lebih sering. Saat yang sama, berdasarkan proyeksi pertambahan penduduk, Lagos akan bertambah sebelas kali lebih besar dari tahun 1995.”

Perpaduan antara frekuensi cuaca panas ekstrim dan pertumbuhan penduduk di daerah panas, lanjutnya, berarti risiko akan bertambah hingga ribuan kali lipat. Dan, itu baru suhu udara pada 1.5°C. Kenaikan hingga 2°C akan mampu menghasilkan konsekuensi dramatis lainnya.

“Hasil tersebut sudah terlihat sangat serius,” kata Matthews. “Ada insentif kuat untuk tetap berada pada target penurunan suhu.” – Climate News Network

Top