Peraturan Keadilan Iklim Perlu Didukung Demokrasi yang Baik

Reading time: 3 menit
Masyarakat sipil mendorong peraturan perundang-undangan keadilan iklim untuk mengatasi krisis iklim. Foto: Dini Jembar Wardani
Masyarakat sipil mendorong peraturan perundang-undangan keadilan iklim untuk mengatasi krisis iklim. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Masyarakat sipil mendorong peraturan perundang-undangan keadilan iklim untuk mengatasi krisis iklim. Hal itu perlu dukungan berupa demokrasi yang baik dan menghormati setiap hak asasi manusia (HAM).

Saat ini, krisis iklim telah melanda belahan dunia. Ada banyak korban akibat krisis iklim yang semakin parah. Apalagi, marak pembangunan eksploitatif yang berdampak pada HAM warga yang berlapis.

BACA JUGA: Buka Ruang Keadilan Iklim untuk Masyarakat Adat

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G. Sembiring mengatakan, kondisi ketidakadilan iklim ini paling banyak berkaitan dengan situasi demokrasi. Kemudian, HAM dan tata kelola dari kementerian serta regulasinya perlu ditegakkan lebih serius. Hal itu dengan cara membedah satu per satu indeks situasi di Indonesia.

“Keadilan iklim itu banyak yang perlu diidentifikasi. Kita enggak butuh sebagai Undang-Undang (UU) saja dan tidak mau UU keadilan iklim itu, tidak jauh berbeda dari UU yang lainnya. Kita mau UU ini ada jawaban dari ketidakadilan iklim untuk mencapai keadilan,” ujar Reynaldo di acara Diskusi Publik Narasi Keadilan Iklim, Senin (20/11).

Perlu Demokrasi yang Baik untuk Mencapai Keadilan Iklim

Tak sekadar mendorong regulasi soal keadilan iklim, menurut Reynaldo, terpenting adalah demokrasi yang baik. Selain itu, perlindungan terhadap sekelompok orang yang tidak beruntung, serta harus ada pengakuan masyarakat adat. Hal tersebut perlu identifikasi oleh para koalisi. Sehingga, tidak terjebak dalam regulasi perubahan iklim seperti Paris Agreement dan lainnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah juga menyatakan, UU keadilan iklim ini suatu kebutuhan sangat penting dan mendesak. Hal itu mengingat fakta perubahan iklim saat ini sudah sangat nyata.

“Namun demikian, peraturan soal perubahan iklim di Indonesia itu masih tersebar di berbagai peraturan, masih jauh dari kata efektif. Sudah banyak diskusi soal ini di DPR, tapi kita juga butuk desakan kuat dan suara kencang agar UU bisa benar-benar menjadi prioritas. Ini adalah proses politik dan belum dilihat sebagai kepentingan mendesak,” ujar Luluk.

Masyarakat sipil mendorong peraturan perundang-undangan keadilan iklim untuk mengatasi krisis iklim. Foto: Dini Jembar Wardani

Masyarakat sipil mendorong peraturan perundang-undangan keadilan iklim untuk mengatasi krisis iklim. Foto: Freepik

Perubahan Iklim Mengancam Kelompok Rentan

Perlu tindakan serius terkait fenomena perubahan iklim. Keadilan iklim lewat UU juga penting untuk terus didiskusikan. Sebab, perubahan iklim kian mengancam kelompok rentan.

“Kami membaca dari banyak laporan, yaitu soal pendidihan. Tahun 2023 itu sangat terasa. Pemanasannya tinggi sekali, sampai 40 derajat Celcius. Situasi itu bertambah buruk bagi kelompok rentan seperti anak-anak, kelompok disabilitas, perempuan juga berkali lipat terganggu kesehatannya. Sehingga, mereka tidak bisa sekolah, tidak bisa bekerja,” ungkap Ketua Badan Pengurus YLBHI, Muhammad Irus.

BACA JUGA: Koprol Iklim Bangun Inklusivitas Melawan Krisis Iklim

Dalam menciptakan sebuah UU soal keadilan iklim, tambah Irus, landasan demokrasi dan kondisi aparat untuk menghormati masyarakat pun perlu didorong. Selain itu, perlu penguatan koordinasi terhadap kelembagaan.

“Sambil kami menjembatani, kami juga bisa membuat analisis UU saat ini yang menghambat rencana aksi iklim,” tegas Irus.

Perempuan Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Dalam kesempatan yang sama, pihak Komnas HAM juga menyampaikan bahwa perempuan menjadi gender paling rentan terdampak perubahan iklim. Misalnya, bencana, alih fungsi lahan sangat berdampak terhadap perempuan.

“Kemudian, perubahan iklim ini memengaruhi lingkungan sosial ekonomi. Selain itu, juga berpengaruh pada kesehatan mental. Misalnya, perkawinan anak dan perdagangan orang meningkat. Dalam konteks pengungsian, saat bencana pun perempuan risikonya lebih rentan mendapatkan kekerasan 14 kali lebih tinggi daripada laki-laki,” kata Komsioner Komnas Perempuan, Siti Aminah.

Aminah menambahkan, mendorong paradigma pembangunan yang berpihak kepada lingkungan juga tak kalah penting untuk masuk ke landasan kebijakan. Hal itu bisa diperkuat dengan kasus-kasus perampasan sumber daya lahan yang menimbulkan sebuah ancaman, khususnya bagi perempuan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top