Jakarta (Greeners) – Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menggelar aksi di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada Senin, 18 November 2024. Mereka menyuarakan tuntutan keadilan iklim, bertepatan dengan Peringatan Global Day of Action for Climate Justice. Aksi ini juga berlangsung bersamaan dengan perundingan iklim global Conference of Parties ke-29 (COP 29) di Baku, Azerbaijan.
Dalam aksi tersebut, ARUKI mengkritik pidato Delegasi Republik Indonesia (Delri) yang dipimpin oleh Hashim Djojohadikusumo. Mereka menilai bahwa pidato tersebut belum mencerminkan komitmen konkret terhadap keadilan iklim. Sebab, bahwa krisis iklim masih dipandang sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai masalah keberlanjutan dan keadilan.
Risma Umar dari Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice menyebut pidato Hashim penuh dengan solusi sesat. Mulai dari Proyek Strategis Nasional, perdagangan karbon, serta teknologi penyimpanan karbon seperti Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCS/CCUS), hingga proyek food estate.
BACA JUGA: Celios: Perdagangan Karbon, Solusi Keliru untuk Atasi Krisis Iklim
Menurutnya, solusi tersebut bertentangan dengan prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) yang harus menjadi dasar kebijakan dan pendanaan iklim. Bahkan, solusi tersebut justru menciptakan masalah baru yang berdampak negatif pada keselamatan rakyat.
“COP-29 menjadi ajang bisnis investasi proyek-proyek sesat, menambah utang baru atau skema pasar yang hanya menguntungkan negara-negara industri, korporasi, dan bukan untuk mewujudkan keadilan iklim. COP-29 seharusnya memperkuat mekanisme loss and damage untuk pendanaan iklim solusi berbasis komunitas untuk meningkatkan ketahanan sosial-ekologi,” tegas Risma.
Banyak Proyek yang Menguntungkan Elit Politik
Senada dengan hal ini, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Fanny Tri Jambore menilai pemerintah gagal menjadikan agenda keselamatan rakyat dan lingkungan sebagai prioritas utama dalam COP-29.
“Tidak ada agenda perlindungan rakyat terdepan yang saat ini menghadapi dampak krisis iklim. Tidak ada rekognisi dan penghormatan terhadap aksi-aksi rakyat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” tegas Fanny.
Solusi Iklim Palsu
Beberapa program yang dianggap sebagai solusi palsu, seperti target energi terbarukan 100 Gigawatt dalam 15 tahun yang disampaikan oleh Hashim, dinilai mengandung risiko signifikan.
Suriadi Darmoko, perwakilan dari 350 Indonesia, mengkritik pengembangan energi geothermal, PLTA skala besar, dan nuklir yang disebutkan dalam pidato tersebut. Menurutnya, proyek-proyek ini terbukti merusak lahan dan ekosistem lokal, menimbulkan bahaya keselamatan, serta memiliki argumen ekonomi yang lemah. Selain itu, proyek-proyek tersebut juga berpotensi menyebabkan deforestasi.
Darmoko juga menyoroti dampak negatif dari PLTA skala besar, yang mengancam satwa endemik dan masyarakat lokal. Begitu juga dengan energi nuklir. Meskipun energi ini dianggap sebagai sumber energi bersih, justru merupakan pembangkit listrik paling mahal dengan limbah dan risiko tinggi.
BACA JUGA: Walhi Kritik Pidato Hashim di COP 29: Prioritaskan Bisnis Ketimbang Krisis Iklim
“Target besar energi terbarukan tersebut idealnya terpenuhi dari pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, melalui pemenuhan akses dan transisi ke energi terbarukan berbasis pada potensi lokal. Sehingga, transisi energi tidak menimbulkan masalah baru,” ungkap Moko.
Darmoko juga mengungkapkan bahwa Delegasi Republik Indonesia di COP-29 masih mengedepankan solusi yang berbasis pada pendekatan Business As Usual (BAU).
“Alih-alih menerapkan solusi iklim berkeadilan, Indonesia justru memperlakukan krisis iklim sebagai komoditas baru,” tambahnya.
Menurut Darmoko, hal ini semakin terlihat dari banyaknya sponsor yang mendukung paviliun Indonesia di COP-29. Sponsor-sponsor tersebut memiliki jejak problematik dalam perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tuntutan ARUKI
Melihat banyaknya solusi palsu dan minimnya komitmen pemerintah dalam mengatasi krisis iklim, ARUKI menuntut tindakan tegas dari pemerintahan Prabowo Subianto. Mereka mendesak agar pemerintah segera menghentikan proyek energi fosil dan mempercepat penonaktifkan PLTU batu bara (termasuk PLTU captive). Mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan dan upskilling bagi pekerja terdampak.
Selain itu, ARUKI juga menuntut penolakan terhadap solusi sesat seperti biofuel skala besar, CCS/CCUS, dan hidrogen skala besar. Mereka juga minta pemerintah untuk mendukung pengembangan energi terbarukan terdesentralisasi, efisiensi energi, dan transportasi publik rendah karbon yang inklusif.
Lebih lanjut, ARUKI meminta pemerintahan Prabowo untuk merancang dan melaksanakan upaya adaptasi perubahan iklim yang inklusif. Ini termasuk meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat dan daya dukung ekoregion, menetapkan target pendanaan iklim yang ambisius dan berkeadilan, serta menerapkan pajak karbon yang adil berdasarkan akumulasi kekayaan.
Mereka juga berharap agar pemerintah bisa memastikan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan, menegakkan hukum dan pertanggungjawaban atas emisi GRK, serta melindungi hak atas sumber daya bagi komunitas lokal. Di samping itu, penting untuk memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia