Jakarta (Greeners) – Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), perdagangan karbon yang pemerintah Indonesia gaungkan pada Konferensi Perubahan Iklim (COP-29) sebagai solusi untuk mengatasi krisis iklim, sejatinya merupakan solusi palsu. Perdagangan karbon ini tidak terbukti secara saintifik dan mengandung asumsi dasar yang bermasalah, yakni menganggap bahwa emisi dari energi fosil setara dengan penyerapan karbon oleh hutan. Hal ini adalah kekeliruan besar.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira mengatakan terdapat banyak logika yang keliru dalam perdagangan karbon ini. Misalnya, klaim bahwa perusahaan migas dan perusahaan batu bara bisa menjadi “carbon neutral” hanya dengan membeli kredit karbon dari hutan di tempat lain. Ini adalah logika yang keliru.
“Perusahaan migas dan batu bara sering kali mengklaim menjadi “carbon neutral” dengan cara membeli kredit karbon dari hutan di tempat lain. Namun, ini adalah logika yang salah. Emisi yang perusahaan ekstraktif hasilkan, seperti migas dan batu bara, tidak bisa kita samakan begitu saja dengan membeli kredit karbon atau ton CO2e di lokasi lain,” kata Bhima dalam diskusi ‘Membongkar Narasi Palsu Perdagangan Karbon’ di Jakarta, Rabu (13/11).
BACA JUGA: Ada Pelanggaran Hak Asasi karena Polusi Tak Teratasi
Menurutnya, terdapat konsep “slow cycle” dan “fast cycle” yang harus dipahami dengan benar. Ini adalah perdebatan fundamental yang perlu dipertimbangkan sebelum membahas turunannya.
Ia menegaskan bahwa emisi hasil perusahaan di suatu tempat, khususnya dari pembakaran fosil, tidak sama dengan penyerapan emisi oleh hutan. Meskipun hutan tersebut adalah hutan alam, bukan hutan buatan, prosesnya tetap berbeda.
“Emisi hasil dari pembakaran bahan bakar fosil bertahan sangat lama di atmosfer, sementara emisi yang dapat hutan serap adalah jenis emisi yang berbeda,” tambah Bhima.
Proyek Perdagangan Karbon Jauh Lebih Mahal
Sementara itu, Bhima menekankan apabila pemerintah mendorong pajak karbon, bahkan jika tarifnya rendah, tetap saja tidak akan efektif. Salah satu alasan mengapa bursa karbon laku di Indonesia adalah karena ada praktik karbon, yaitu penyimpanan karbon di bawah tanah atau Carbon Capture and Storage (CCS).
CCS adalah proyek yang menangkap karbon hasil pembakaran fosil dan menyimpannya di bawah tanah. Sehingga, perusahaan bisa tetap beroperasi seperti biasa tanpa mengurangi produksi mereka, asalkan karbon yang dihasilkan disimpan.
Namun, proyek seperti ini jauh lebih mahal daripada mendorong transisi ke energi terbarukan. Maka dari itu, dalam menciptakan solusi dari perdagangan karbon, kenyataannya sangat mahal.
Menurut perhitungan dari Celios, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) memerlukan investasi lebih dari Rp 30,2 juta per kilowatt hour (kWh) pada tahun 2020. Kemudian, lebih dari Rp 22 juta per kWh pada tahun 2050. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan. Seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala utilitas atau industri, yang diperkirakan hanya memerlukan sekitar Rp 6 juta per kWh pada tahun 2050.
Bahkan lebih berbahaya lagi, di Amerika, ada kejadian gas bocor dari penyimpanan karbon bawah tanah yang menyebabkan 40 orang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Indonesia yang terletak di Ring of Fire sangat berisiko jika menyimpan karbon di bawah tanah. Sebab, potensi kebocoran yang sangat tinggi.
Fokus Tagih Utang Iklim
Menurut Bhima, saat ini negara berkembang perlu menagih utang iklim pada negara-negara maju. Bukan justru terjebak dalam perdagangan karbon.
“Negara maju sudah lama menggunakan bahan bakar fosil untuk industrinya, sementara negara berkembang baru mulai memasuki fase industri. Jadi, solusinya bukanlah negara berkembang menjual hutannya kepada negara maju melalui perdagangan karbon,” tegas Bhima.
Negara berkembang harus bisa menuntut negara maju untuk membayar utang iklim mereka, sesuai dengan kesepakatan dalam Perjanjian Paris. Inilah yang seharusnya menjadi dasar kerja sama, bukan perdagangan karbon.
Masyarakat Adat Terdampak
Di samping itu, masyarakat adat akan menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka sering kali tidak dihargai hak-haknya, meskipun mereka telah lama menjaga hutan.
Ironisnya, mereka justru menjadi objek dalam perdagangan karbon, sementara mereka tidak mendapatkan manfaat finansial dari aktivitas tersebut. Menurut Bhima, keadaan ini bahkan lebih buruk di Indonesia daripada di Brasil. Masyarakat adat Brasil sudah mulai menggugat, dan bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi di Indonesia.
BACA JUGA: YLKI Soroti Jejak Emisi Karbon saat Mudik
“Indonesia tinggal tunggu waktu jadi kalau ada klaim 577 juta ton kredit karbon yang sudah terverifikasi itu di tanah siapa, ya? Di Kalimantan Sumatra, Papua, itu bukan tanah kosong. Di situ ada tanah masyarakat adat yang tinggal. Kalau itu diklaim milik negara, itu harus dilakukan gugatan,” imbuh Bhima.
Menurut Bhima, perdagangan karbon yang tidak inklusif ini jelas merugikan masyarakat adat. Mereka tidak bisa mengakses hasil dari perdagangan karbon. Bahkan, ada praktik “koboi karbon” yang mulai masuk ke kampung-kampung mereka.
Penulis: Dini Jembar Wardani