Bencana Hidrometeorologi Masih Mengintai Indonesia

Reading time: 2 menit
Banjir menjadi bencana hidrometeorologi paling dominan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Bencana hidrometeorologi masih mengintai Indonesia. Meski jumlah kejadian bencana di tahun 2021 menurun dibanding tahun sebelumnya, ancaman bencana ini masih ada. Selain fenomena alam, buruknya kondisi lingkungan memicu kejadian bencana tersebut.

Bencana hidrometeorologi tersebut antara lain banjir, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung, dan abrasi. Sepanjang Januari hingga 25 Desember 2022 ada 3.461 kejadian bencana. Sedangkan tahun 2021 sebanyak 5.402 kejadian. Banjir selalu mendominasi bencana hidrometeorologi. 

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data dan Informasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan, bencana hidrometeorologi mendominasi lebih dari 95 persen kejadian bencana di Indonesia. Kenaikan tren bencana hidrometeorologi basah di Indonesia karena berubahnya kondisi lingkungan.

“Artinya curah hujan tinggi iya pasti. Tapi kalau kondisi lingkungannya bagus, meski terjadi banjir maka akan minim dampaknya,” katanya di Jakarta baru-baru ini. 

Ia menyebut berkurangnya tutupan lahan hutan dan vegetasi berdampak signifikan terhadap bencana ini. Apalagi saat ini dari sekitar 2.000-an daerah aliran sungai yang ada, sekitar 75 persennya dalam kondisi mengkhawatirkan.

Jawa Barat Tertinggi Bencana Hidrometeorologi

Sementara itu dalam 10 tahun terakhir, tujuh provinsi menjadi menjadi lokasi dominan bencana. Mulai dari Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan.

Provinsi Jawa Barat menempati urutan teratas wilayah dengan frekuensi bencana tertinggi sebanyak 814 kejadian. Kemudian disusul Jawa Tengah 474 kejadian, dan Jawa Timur 393 bencana.

Imbas Perubahan Iklim

Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan menyatakan, sejumlah penelitian menyebut, kejadian ekstrem dan bencana hidrometeorologi di dunia pada dekade terakhir karena pemanasan global dan perubahan iklim.

“Lebih dari dua per tiga dari data cuaca secara global menunjukkan sinyal peningkatan kejadian ekstrem berkaitan dengan peningkatan suhu udara permukaan,” katanya kepada Greeners.

Menurutnya, hujan-hujan ekstrem ini pada kondisi iklim zaman sekarang peluang kemunculannya meningkat menjadi sekitar 2,4 kali. Intensitasnya lebih sering dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun yang lalu.

Peningkatan suhu permukaan bumi di berbagai tempat terutama di daratan Eropa, Asia, Australia, hingga Amerika akan memengaruhi siklus hidrologi. Kecenderungannya menghasilkan hujan ekstrem pemicu banjir besar.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top