Berburu dengan Waktu Selamatkan Danau Ranu Pane

Reading time: 2 menit
Danau Ranu Pane kini mengalami pendangkalan. Air danau yang semula dapat memenuhi kebutuhan warga kini tidak bisa dikonsumsi karena airnya kotor dan bercampur dengan limbah pupuk. Foto: greeners.co/HI

Malang (Greeners) – Sebaran tanaman invasi jenis Salvinia molesta terserak di tepian Danau Ranu Pane yang berada di kaki Gunung Semeru. Di sela-sela tanaman yang entah berasal dari mana ini juga terselip beberapa sampah. Di tepian danau yang mendangkal ini juga terlihat banyak sampah plastik dan botol air mineral berserakan. Sedimentasi yang melaju cepat setiap musim hujan juga menambah percepatan pendangkalan danau yang menjadi saksi banyak pecinta alam dan seniman ini.

Berada di Desa Ranu Pane, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, danau yang diperkirakan seluas 1 hektare ini kian hari semakin menyusut seiring pendangkalan yang terjadi. Upaya penyelamatan atau restorasi juga telah dilakukan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan berbagai komunitas beberapa tahun lalu.

Namun, persoalan sampah masih menjadi yang utama, sedimentasi juga tak kunjung berkurang. Bahkan, petani tetap menggarap lahannya seperti mengeksploitasi habis-habisan lahan mereka, tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.

Salah satu petani Desa Ranu Pane, Sukodono, mengaku kalau persoalan mengubah pola pertanian warga Ranu Pane sudah beberapa kali dicoba, namun warga rata-rata ada yang mau dan ada yang tidak. Ia sendiri sepakat kalau model pertanian dibuat terasering untuk mengurangi sedimentasi yang berdampak pada pendangkalan Danau Ranu Pane. “Saya sebagai petani di sini setuju sekali kalau dibuat terasering,” kata Sukodono kepada Greeners, Sabtu (30/04) di sela-sela pembukaan Jambore Sapu Gunung.

Ia menilai, kalau mengandalkan masyarakat saja untuk mengubah pola pertanian yang sudah dilakukan sejak lama akan sulit kalau tidak dibarengi dan didukung oleh pihak-pihak terkait. Misalnya, kata Sukodono, untuk mendukung pembuatan terasering harus ada tanaman penahan seperti rumput gajah. “Nah, kalau warga tidak punya hewan ternak, rumput gajah tidak bisa dimanfaatkan,” ujarnya.

Ia sendiri mengaku kecewa melihat kondisi Danau Ranu Pane yang mengalami pendangkalan cukup parah dan persoalan sampah. Ia mencoba membandingkan Danau Ranu Pane yang dulu dan sekarang. Banyak satwa dan tanaman yang berkurang, burung-burung endemik Ranu Pane sudah jarang bermunculan. “Bahkan, di tahun 1970-an warga memanfaatkan air danau untuk memasak dan kebutuhan air bersih. Sekarang tidak bisa karena airnya kotor dan bercampur limbah pupuk,” katanya.

Bupati Lumajang, As’at menjelaskan, untuk persoalan sampah, dinas terkait sudah memulai untuk memanfaatkan sampah dari para pendaki dengan dipilah-pilah lalu dijual. “Memang tidak diolah di sini. Tapi sekarang akan dicoba untuk diolah di sini dengan adanya Bank Sampah yang baru di launching,” ujar Bupati As’at.

Bupati As’at juga meminta kepada para pengunjung untuk peduli terhadap kelestarian Ranu Pane dan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan membawa sampah turun kembali dan tidak ditinggalkan di atas. “Perlu kerjasama dari semua pihak,” katanya menegaskan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tuti Hendrawati Mintarsih mengatakan, ada 50 taman nasional di Indonesia yang mengalami persoalan hampir sama, seperti sampah. Namun, masih 10 taman nasional yang diprioritaskan dari kondisi darurat sampah.

Persoalan sampah sebenarnya pada bagaimana mengubah perilaku pengunjung agar tidak membuang sampah sembarangan di kawasan taman nasional dan wisata alam lainnya. “Ini perlu edukasi dan pengawasan,” ujarnya.

Untuk persoalan Danau Ranu Pane yang ‘diserang’ tanaman invasif dan ancaman pendangkalan, pihaknya akan berupaya mengajak lembaga terkait terutama PU dalam hal mengambil kembali tanah yang masuk ke danau agar bisa terlihat seperti dulu. “Setelah dikeruk bisa menampung air yang lebih banyak,” ujarnya.

Tidak hanya itu, edukasi kepada petani terkait pola pertanian juga penting agar tanah dari ladang tidak masuk ke kawasan danau dengan membuat pola pertanian terasering. “Kalau dibiarkan, bisa hilang danau ini,” kata Tuti.

Penulis: HI/G17

Top