CREA: Pembangkit Listrik Sumbang Polusi Udara di Ibu Kota

Reading time: 3 menit
Pengendalian polusi udara perlu dilakukan lintas sektor.
Pengendalian polusi udara membutuhkan komitmen berbagai sektor demi menghasilkan udara bersih. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Moda transportasi darat selama ini diyakini sebagai sumber utama emisi yang memicu pencemaran udara di Ibu Kota. Namun, studi terbaru menyebut sumber emisi tidak bergerak seperti pembangkit listrik batu bara, pabrik, dan fasilitas industri lain menyumbang polusi yang cukup signifikan di Jakarta.

Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), pencemaran udara terjadi secara lintas batas di ruang udara Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Ruang udara yang dimaksud yakni area ketika emisi memengaruhi kualitas udara dan luasnya melampaui batas administratifnya. Daerah Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, dan Cianjur merupakan wilayah yang berbagi ruang udara dengan Jakarta. Bahkan cakupannya meluas hingga Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa Tengah.

Hasil studi menyebut emisi pencemar udara di Jakarta dan provinsi di sekitarnya meningkat dan memperburuk kualitas udara hingga menghambat upaya perbaikan. Hal itu terlihat dari data sepanjang 2018 yang memantau kadar PM2.5 bahwa di Jakarta terdapat 101 hari dengan kualitas udara tidak sehat. Sementara tahun lalu diketahui 172 hari.

Baca juga: Uji Klinis Vaksin Covid-19 Dilakukan ke 1.620 Sukarelawan

Sebanyak 136 fasilitas industri terdaftar termasuk pembangkit listrik diketahui merupakan sektor dengan emisi tinggi di Jakarta. Radiusnya mencapai 100 km dari batas administratif Ibu Kota. Emisi yang dikeluarkan di antaranya PM2.5, SO2 dan NOx. “Fasilitas industri sebanyak 16 unit berlokasi di DKI Jakarta, 62 di Jawa Barat, 56 di Banten, satu di Jawa Tengah, dan terakhir di Sumatera Selatan. Melalui pantauan satelit, peneliti melihat wilayah padat industri tersebut berada pada lokasi yang sama dengan titik konsentrasi NOx dan SO2 di Jawa,” ujar Isabella, Analis CREA, pada konferensi pers secara daring, Selasa (11/08/2020).

Ia mengatakan angin menjadi salah satu faktor yang membawa pencemaran Pembangkit Listrik Suralaya ke Jakarta. Hal itu menyebabkan konsentrasi PM2.5 di Jakarta tetap tinggi, kendati terjadi pengurangan besar-besaran di lalu lintas lokal dan aktivitas perkotaan.

Konsentrasi Polutan

Grafik Konsentrasi polutan di Jakarta. Sumber: Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA)

Dalam laporannya, CREA menjelaskan bahwa faktor meteorologi seperti lintasan angin memengaruhi penyebaran pencemar seperti NO, SO2, dan PM2.5. Pada bulan-bulan kering seperti Mei hingga Oktober, ketika tingkat pencemaran keseluruhan di kota ini paling tinggi, sumber dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara dinilai akan memberikan dampak yang lebih besar pada kualitas udara. Pabrik industri di sebelah timur Jakarta dari Bekasi, Karawang, Purwakarta hingga Bandung juga tak luput di dalamnya. Sedangkan pada bulan-bulan basah antara Desember hingga Maret, sumber di wilayah bagian barat khususnya pembangkit listrik Suralaya di Banten menjadi penyumbang pencemaran yang lebih besar.

Persebaran Polutan Dipengaruhi Angin Laut

Hasil penelitian ini juga dikonfirmasi oleh Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kepala Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara BMKG Suradi menuturkan, dari hasil perhitungan lembaganya terdapat perlambatan angin laut sampai ke daratan Jakarta yang memengaruhi pencemaran.

“Karena anginnya lambat dan telat, maka konsentrasi polutan tidak tersebar secara merata. Jadi terkadang mandek hanya sampai di Jakarta Selatan. Hal ini juga terkonfirmasi dari data PM2.5 US Embassy bahwa di Jakarta Selatan ternyata konsentrasi polusinya lebih tinggi dibandingkan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Jadi, pengaruh angin lokal di Jakarta perlu diperhatikan,” ujar Suradi.

Dari data inventarisasi emisi untuk wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, didapati bahwa Banten dan Jawa Barat memiliki emisi PM2.5, SO2, dan NOx yang jauh lebih tinggi dua kali lipat atau bahkan empat kali lipat dibanding Jakarta. Emisi berbahaya itu sebagian besar disebabkan oleh industri dan pembangkit listrik.

Baca juga: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah mengatakan bahwa permasalahan pencemaran udara ini sudah diketahui oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam waktu cukup lama. Hal itu diketahui dari studi Bank Dunia pada 1997 yang menunjukkan permasalahan pencemaran udara di Jakarta.

Langkah-langkah yang bisa diperbaiki, kata Fajri, yakni menambah stasiun pemantau, memperbaiki metode kualitas udara, dan menambah parameter PM2,5 sebagai acuan indeks kualitas udara. Ia menyarankan agar dibuat Strategi dan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran Udara karena belum dirancang oleh Pemeritah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, maupun Banten.

“Jakarta sulit dipulihkan tanpa ada upaya maksimal dari Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pengurangan dan pengendalian pencemaran udara ini kita bias fokus ke satu sumber utama pencemar udara tidak bergerak, seperti industri dan pembangkit listrik,”ujar Fajri.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top