Krisis Iklim Tenggelamkan 12.000 Desa, Warga Pesisir Paling Terdampak

Reading time: 2 menit
Warga pesisir terdampak banjir karena krisis iklim. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Krisis iklim tidak hanya mengancam warga pesisir, tapi juga Indonesia sebagai negara kepulauan.

Manajer Eksekutif Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan, konsep kedaulatan Indonesia diukur dari pulau terdepan.

“Jika krisis iklim terus terjadi maka kenaikan muka air laut semakin naik dan pulau terdepan tenggelam. Ini berimbas pada kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan akan menyusut,” katanya dalam acara Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia, Senin (3/10).

Lebih jauh, Parid mengungkap lebih dari 12.000 desa di Indonesia tenggelam karena krisis iklim. Sementara, dalam setiap tahun, satu hektare tanah hilang di sepanjang kawasan pesisir Demak, Jawa Tengah akibat meningkatnya permukaan air laut.

Tak hanya itu, masyarakat pesisir merupakan kelompok paling rentan di seluruh dunia. Selain berhadapan dengan ancaman kenaikan air muka laut, mereka berhadapan dengan ancaman kebijakan pembangunan yang merugikan.

“Misalnya Teluk Jakarta tidak ada satupun pantai publik yang bisa diakses, kalaupun ada maka tercemar,” imbuhnya.

Masyarakat pesisir pun hanya dapat berlayar kurang lebih hanya selama enam bulan. Selebihnya, mereka harus mencari pekerjaan lain, mulai dari kuli bangunan, tukang ojek hingga bertani. Kondisi membuat kehidupan mereka semakin terancam.

Warga Pesisir Sulit Mencari Nafkah

Parid menyebut, data nelayan meninggal akibat krisis iklim terus mengalami kenaikan. Tahun 2015, yaitu sebanyak 186 jiwa, tahun 2017 naik menjadi 166 jiwa dan tahun 2020 melonjak sebanyak 251 jiwa. Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, dalam waktu 10 tahun, jumlah nelayan di Indonesia berkurang sebanyak 330.000 orang.

Krisis iklim juga berdampak pada krisis pangan laut. Pasalnya, peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis sehingga berdampak pada pendapatan nelayan. Alhasil, mereka harus melaut lebih jauh lagi.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pikul Torry Kuswardono menyatakan, gerakan keadilan iklim harus menekankan dengan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Terutama masyarakat rentan paling terdampak perubahan iklim.

“Harus berangkat dari tuntutan paling hakiki dari korban yang paling menderita. Poin inilah sebagai prinsip-prinsip untuk membuat kebijakan,” ucapnya.

Sebelumnya dalam SDGs, pembangunan berkelanjutan yang menekankan 17 target di dalamnya. Salah satu targetnya yakni berkaitan dengan kemiskinan, ketimpangan dan lingkungan global.

Demikian pula dalam Paris Agreement, yang menekankan bahwa keadilan iklim bukan sekadar harus diterapkan dalam perubahan iklim. Akan tetapi, aksi dan mitigasi dari berbagai pihak.

Masyarakat pesisir juga ikut merasakan dampak perubahan iklim. Foto: Shutterstock

Ciptakan Climate Justice untuk Hadapi Krisis Iklim

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menyatakan tantangan implementasi keadilan iklim justru terletak pada hukum dan kebijakan yang melegitimasi aspek-aspek pendukung pembangunan.

“Contoh konkretnya yaitu di level undang-undang, misalnya UU Cipta Kerja dimana para hakim yang ingin memperbaiki isinya malah harus dihukum dan digantikan orang-orang yang pro pembangunan,” ujar dia.

Dalam hal ini, ia menekankan penguatan kesadaran dari partisipasi publik. Jangan sampai justru kelompok rentan ini tak sadar dan semakin sengsara.

“Kita harus beri penguatan. Dengan merombak kebijakan sistem politik yang mengunci sistem peradilan. Sehingga nantinya menghasilkan climate justice,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top