Nilai Perdagangan Karbon dari Aksi Atasi Iklim Harus Daerah Rasakan

Reading time: 3 menit
Skema perdagangan karbon harus daerah rasakan manfaatnya dari aksi iklimnya. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Dorongan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam kontribusinya pada aksi perubahan iklim harus dibarengi dengan pemberian kompensasi yang setimpal.

Hal itu menyusul terbitnya Perpres No 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menganjurkan pada seluruh gubernur di Indonesia melakukan mitigasi dan adaptasi krisis iklim serta perdagangan karbon. Syarat utamanya, aksi-aksi pemerintah daerah harus terdaftar dalam sistem registri nasional (SRN).

SRN merupakan alat ukur basis data emisi karbon di Indonesia. Pengurangan karbon harus tercatat agar masuk dalam dokumen kontribusi nasional yang telah pemerintah tetapkan atau nationally determined contribution (NDC).

SRN telah pemerintah rintis sejak tahun 2016. Sebagaimana amanat UU Nomor 16 Tahun 2016 kemudian diterbitkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021. Hingga Januari 2022, aplikasi SRN telah merekam sebanyak 4.819 kegiatan yang 1.890 orang lakukan. Akan tetapi, hanya 329 kegiatan terverifikasi pengurangan emisinya.

Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Perdinan menilai, Perpres No 98 Tahun 2021 akan memperkuat payung hukum dorongan aksi perubahan iklim yang pemerintah daerah lakukan. Namun, ia mengingatkan pentingnya pemberian imbal balik atas kontribusi pemerintah daerah tersebut.

“SRN merupakan pintu awal pengakuan aksi-aksi yang pemda lakukan. Ketika sudah direkognisi, apa yang akan masyarakat dan pemerintah daerah dapat? Apakah untuk wilayah yang aktif diberikan kompensasi DAU atau DAK. Lalu apakah bisa dipertimbangkan poin plusnya sebagai prioritas lokasi intervensi yang berdampak investasi di daerah?,” katanya kepada Greeners, Minggu (24/1).

Dalam aksi iklim yang daerah lakukan pendataannya harus mengacu pada SRN. Foto: Shutterstock

Pendataan Aksi Pengurangan Emisi dari Aksi Iklim

Berkaca pada negara-negara maju lainnya, pendataan aksi pengurangan emisi di satu wilayah bahkan bisa menandai sebagai wilayah yang concern terhadap lingkungan hingga berdampak pada investasi.

Salah satu amanat dalam Perpres No 98 Tahun 2021 menyebut adanya roadmap adaptasi yang menawarkan kode risiko wilayah. Menurut Perdinan, hal ini bisa berkembang menjadi nilai promosi investasi ke depan.

“Jangan khawatir membangun di satu tempat kalau nilai ekonominya baik, tapi dipastikan agar lingkungannya tak rusak. Investasinya pasti lebih mahal,” ujar Deputi Direktur SEAMEO Biotrop ini.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan komitmennya terhadap aksi-aksi perubahan iklim. Bahkan, pemerintah juga aktif mengirimkan long term strategi Indonesia 2050. Komitmen tersebut dapat terwujud dengan menggandeng masyarakat, pemerintah daerah dan seluruh stakeholder lain dengan capaian yang terukur melalui SRN.

Perdinan menilai, mengacu amanat Perpres Nomor 98 Tahun 2021 ke depan prioritasnya bukan sekadar mengukur capaian aksi, tapi berfokus pada nilai ekonomi karbon (NEK). NEK merupakan skema emisi yang diperdagangkan melalui penyerapannya dengan cara memulihkan ekosistem.

Misalnya, sambung dia bagaimana dari aksi itu kemudian menentukan dan mendorong ekspansi bibit-bibit unggul baru yang selama ini belum banyak dipakai. Hal senada juga berlaku pada aksi terkait mitigasi, yakni mobil listrik yang awalnya sekadar style lalu menjadi bernilai ramah lingkungan.

“Sehingga pertanyaan besarnya nanti siapa penentu nilai ekonomi selanjutnya dalam hal perdagangan karbon,” imbuhnya.

Butuh Aturan Teknis

Penyiapan aturan teknis turunan Perpres NEK melalui peraturan menteri hendaknya melibatkan audiensi publik dengan pemanfaatan media sosial sehingga bisa 24 jam terakses.

Tak sekadar menampung input, cara ini sekaligus sebagai sarana sosialisasi dan proteksi pemerintah terhadap kebijakan yang ada.

“Tidak harus FGD, jadi cukup memanfaatkan medsos dan bikin poin-poinnya agar bisa masyarakat luas akses dan respon,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top