Hari Gizi Nasional 2018, Kemenkes Fokus pada Pencegahan Stunting

Reading time: 2 menit
hari gizi nasional
(Dari kiri ke kanan) Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Harris Iskandar, Sekjen Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Kemendesa Etti Diana, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Raden Harry Hikmat, Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Dody Izwardy dalam workshop peringatan Hari Gizi Nasional ke-58 di gedung Sujudi Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (25/01/2018). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Tanggal 25 Januari, Indonesia memperingati Hari Gizi Nasional yang ke-58. Namun fakta di lapangan menunjukkan permasalahan gizi buruk masih belum tertangani di beberapa daerah di Indonesia. Masalahnya, apabila gizi buruk dialami pada bayi, maka efeknya bisa seumur hidup. Tahun ini, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengangkat sub tema “Mewujudkan Kemandirian Keluarga dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) Untuk Pencegahan Stunting” sebagai sub tema HGN 2018.

“Konsep pencegahan sendiri akan fokus pada seribu hari pertama kehidupan untuk memastikan bahwa semua pelayanan kesehatan kepada ibu hamil, bayi, dan balita sejalan dengan upaya perbaikan gizi,” ujar Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, Jakarta, Kamis (25/01/2018).

Salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 adalah perbaikan gizi, khususnya stunting (pendek/kerdil) karena hal ini merupakan indikator rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dampaknya menimbulkan risiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa.

BACA JUGA: Pemanasan Global Pengaruhi Asupan Nutrisi

Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Dr. Minarto, MPS mengatakan bahwa secara umum persentase stunting pada umur 0 sampai 59 bulan dengan kategori sangat pendek mencapai 9,8 persen, pendek 19,8 persen, dan normal 70,4 persen.

Menurut Minarto, dari data tersebut sekitar tiga puluh persen yang terkena stunting merupakan kelompok masyarakat menengah atas. Penyebab stunting ini, lanjutnya, disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat dalam memilih mengolah dan menyajikan bahan makanan.

“Angka itu cukup tinggi sekali. Kami tidak menyangka karena mereka punya uang, bahan pangan yang mencukupi, tetapi cara memilih, mengolah, dan memberikan makanan kepada anak tidak tepat sehingga kalau diukur anak-anak yang menjadi stunting mencapai angka 30 persen,” kata Minarto.

BACA JUGA: Perubahan Iklim Berimbas pada Kesehatan Perempuan

Untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada bayi, ibu hamil juga perlu mencukupi kebutuhan gizinya selama kehamilan. Zat besi ini sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2013, sebanyak 89,1 persen ibu hamil mengonsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi. Dari jumlah tersebut, hanya 33,3 persen ibu hamil yang mengonsumsi zat besi minimal 90 hari selama kehamilannya.

Data dari Pemantauan Status Gizi 2016 juga melaporkan bahwa belum semua anak usia 0-5 bulan mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif. Hanya 54 persen bayi yang menerima ASI ekslusif.

“Intervensi yang paling menentukan adalah mempersiapkan seorang calon ibu, memberikan pelayanan kepada ibu hamil secara maksimal dan memastikan persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. ASI eksklusif diawali dengan inisiasi menyusui dini dan pemantauan pertumbuhan perkembangan dilakukan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan perlu dilakukan pada 1000 hari pertama kehidupan,” tutur Anung.

Untuk mencegah terjadinya stunting, ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Seala Septiani, mengatakan, ibu hamil harus berhati-hati pada pola makan. Mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang akan membuat bayi yang dikandung sehat pula.

“Yang paling saya tekankan adalah mengonsumsi kalsium, karena gunanya kalsium itu untuk pembentukan tulang pada bayi yang ada di dalam kandungan. Jadi pencegahan (gizi buruk) yang paling baik adalah dimulai dari janin dalam kandungan,” pungkas Seala.

Penulis: Dewi Purningsih

Top